SALAM
A.
Pengertian Salam
Diantara bukti kesempurnaan agama Islam ialah dibolehkannya
jual beli dengan cara salam, yaitu akad pemesanan suatu barang dengan kriteria
yang telah disepakati dan dengan pembayaran tunai pada saat akad dilaksanakan.
Yang demikian itu, dikarenakan dengan akad ini kedua belah pihak mendapatkan
keuntungan tanpa ada unsur tipu-menipu atau ghoror (untung-untungan).
Pembeli (biasanya) mendapatkan keuntungan berupa:
1.
Jaminan untuk mendapatkan barang sesuai
dengan yang ia butuhkan dan pada waktu yang ia inginkan.
2.
Sebagaimana ia juga mendapatkan barang
dengan harga yang lebih murah bila dibandingkan dengan pembelian pada saat ia
membutuhkan kepada barang tersebut.
Sedangkan penjual juga mendapatkan keuntungan yang tidak
kalah besar dibanding pembeli, diantaranya:
1.
Penjual mendapatkan modal untuk
menjalankan usahanya dengan cara-cara yang halal, sehingga ia dapat menjalankan
dan mengembangkan usahanya tanpa harus membayar bunga. Dengan demikian selama
belum jatuh tempo, penjual dapat menggunakan uang pembayaran tersebut untuk
menjalankan usahanya dan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa ada
kewajiban apapun.
2.
Penjual memiliki keleluasaan dalam
memenuhi permintaan pembeli, karena biasanya tenggang waktu antara transaksi
dan penyerahan barang pesanan berjarak cukup lama.
Salam dinamai juga dengan Salaf (pendahuluan). Yaitu penjualan sesuatu
dengan criteria (yang masih berbeda) dalam tanggungan dengan pembayaran
segera/disegerakan.
Para Fuqaha menamainya dengan al-Mahawa’ij (barang-barang mendesak),
kareana ia sejenis juga beli barang yang tidak ada di tempat sementara dua
pihak yang melakukan jual beli mendesak.
Pemilik uang butuh membeli barang dan pemilik barang butuh pembayarannya
sebelum barang ada di tangan untuk ia gunakan memenuhi kebutuhan dirinya dan
kebutuhan tanaman-nya sampai waktu tanaman dapat dipanen/masak. Jual beli
semacam ini termasuk kemaslahatan kebutuhan.
Pembeli disebut al-Muslim atau pemilik salam (yang menyerahkan), dan
penjual disebut al-muslamu ilaihi (orang
yang diserahi), sedangkan barang yang dijual disebut al-muslam fiih (barang
yang akan diserahkan) dan harganya disebut ra’su maalis salam (modal salam).[1]
B.
Landasan Hukum
Landasan hokum disyari’atkannya dengan kitabullah dan sunnah serta ijma’.
1.
Ibnu Abbas ra. Berkata:
اَشْهَدُ اَنَّ السَّلَفَ الْمَضْمُوْنَ اِلَى
اَجَلٍ قَدْ اَحَلَّهُ اللهُ فِى كِتَابِهَ وَاَذِنَ فِيْهِ, ثُمَّ قَرَاَقَوْلَهُ
تَعَالَى: يَاَيُهَا الَّذِيْنَ اَمَنُّوا اِذَاتَدَايَنْتُمْ بِدَيْنِ اِلَى
اَجَلٍ مُسَمَّى فَاكْتُبُوْهُ
Artinya: “Aku bersaksi as-salaf yang dijamin untuk waktu tertentu
benar-benar dihalalkan Allah di dalam kitabullah dan diizinkan.” Kemudian ia
membaca ayat Allah: “hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaknya kamu menuliskannya
dengan benar”. (QS. Al-Baqarah: 282)
2.
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan, dating di Madinah mereka
melakukan salaf untuk penjualan buah-buahan (dengan waktu) satu tahun atau dua tahun.
Lalu beliau berkata:
مَنْ
اَسْلَفَ فَلْيُسْلِفْ فِى كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ وَوَزْنٍ مَعْلُوْمٍ اِلَى اَجَلٍ
مَعْلُوْمٍ
Artinya: “Siapa yang melakukan salaf, hendaknya melakukannya dengan
takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, sampai dengan batas waktu
tertentu.”
Ibnu al-Munzir mengatakan: Semua orang yang ilmunya kami pelihara kami
hafal mengatakan: bahwa salam itu boleh.[2]
C.
Kesesuaiannya Dengan Kaidah-Kaidah
Syariat
Pensyari’atan salam sesuai dengan tuntutan syariat dan sesuai pula dengan
kaedah-kaedahnya. Tidak bertentangan dengan kias, karena sebagaimana
penangguhan barang seperti dalam salam tanpa ada pembedaan antara keduanya dan
Allah berfirman:
#sÎ) LäêZt#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù
Artinya: “apabila kamu bermu'amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. “ (QS.
Al-Baqarah: 282)
Yang dimaksud kata dain dalam ayat ini (bukan hutang), tetapi
muamalah tidak secara tunai untuk barang yang terkandung dalam jaminan. Selama
criteria barang diketahui jelas dan
berada dalam tanggungan (penjual, red) dan si pembeli meyakini akan dipenuhi
oleh si penjual pada saatnya nanti seperti yang terkandung dalam ayat ini,
sebagaimana dikatakan Ibnu Abbas, selama itu pula ia tidak termasuk larangan
Nabi SAW, tentang tidak bolehnya seseorang menjual sesuatu yang tidak ada
padanya sebagaimana sabda beliau yang diriwayatkan dari al-Hakim, Ibnu Hazam
yang Berbunyi:
لاَتَبِعْ
مَالَيْسَ عِنْدَكَ
artinya: “Janganlah kamu menjual barang yang tidak
ada padamu”. (HR. Ahmad).
Sesungguhnya yang dimaksud dengan pelarangan ini, bahwa seseorang menjual
barang yang ia tidak dapat menyerahkannya. Karena, barang yang ia tidak dapat
menyerahkannya, pada hakikatnya bukanlah miliknya. Sehingga jual beli menjadi
gharar atau petualangan.
Adapun jual beli barang yang berkriteria, dan ada jaminannya, disertai
sangkaan kuat dapat dipenuhi tepat pada waktunya, tidaklah termasuk dalam
kategori ini.[3]
D.
Syarat-Syaratnya
Dalam jual beli ada syarat-syarat yang harus diikuti sehingga jual beli
menjadi sah. Di antaranya persyaratan untuk modal (pembayaran) dan persyaratan
untuk barang yang dijual.
1.
Syarat pembayaran (modal)
a.
Diketahui jelas jenisnya
b.
Diketahui jelas kadarnya
c.
Diserahkan di majelis
2.
Syarat barang yang disalamkan
a.
Bahwa barang tersebut ada tanggungan
b.
Barang tersebut berkriteria yang bisa
memberikan kejelasan kadar dan sifat-sifatnya yang membedakannya dengan lainnya
agar tidak mengandung gharar dan terhindar dari perselisihan.
c.
Bahwa batas waktu diketahui jelas.
Bolehkah penentuan batas waktu sampai dengan masa
panen, masa potong, datang haji dan sampai diberikan?
Menurut imam Malik: boleh saja selagi diketahui jelas
seperti beberapa bulan dan beberapa tahun.
3.
Persyaratan tempo
Jumhur berpendapat perlunya menuliskan tempo dalam
jual beli salam. Dan mereka berpendapat: Salam tidak boleh berlangsung seketika
(sekarang).
Para penganut mazhab Asy-Syafi’i berpendapat: Boleh
saja (seketika, red), karena jika dibolehkan penangguhan padahal bisa jadi
gharar, pembolehannya untuk waktu itu juga tentu lebih utama. Dan disebutnya
waktu/masa/tempo dalam hadits diatas bukanlah untuk penangguhan tetapi
bermakna: jika untuk waktu yang diketahui.
Menurut Asy-Syaukani: Yang benar menurut pendapat
orang-orang Syafi’I, yaitu tidak adanya penentuan penangguhan mengingat tidak adanya dalil yang mendukung,
menghormati hokum yang tanpa dalil bukanlah kelaziman.
Adapun yang dikatakan bahwa salam harus tidak ada
penagguhan, itu sebenarnya untuk jual beli
barang yang tidak ada rukhsahnya, kecuali untuk salam yang tidak ada
bedanya dengan jual beli biasa, hanya; soal waktu yang ditangguhkan.
Dengan demikian berarti sudah dijawab; bahwa
sighatnya berbeda, dan itu sudah cuku (sebagai jawaban, red).
4.
Barang Tidak Mesti Berada di Tangan
Penjual
Barang salam tidak disyaratkan barang berada pada
penjual, tetapi harus ada pada waktu yang ditentukan. Manakala barang jualan
tidak ada pada waktu yang ditentukan, akad menjadi fasakh. Tidak adanya barang
sebelum waktu ditentukan tidak membawa akibat apa-apa.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Muhammad bin al-Mujalid,
berkata: Abdullah bin Syadad dan Abu Burdah mengutusku menemui Abdullah bin Abi Aufa, mereka mengatakan;
Tanyakan padanya apakah para sahabat Nabi pada zaman Nabi SAW melakukan salaf
(salam) untuk gandum?
Abdullah bin Abi Aufa menjawab: “Dahulu kami melakukan
salaf para petani penduduk Syam untuk gandum dan minyak dalam takaran yang
diketahui jelas dan waktu yang jelas”.
Aku tanyakan lagi: “Dari mana asal barang yang ada
padanya?”
Abdullah bin Ali Aufa menjawab: “Kami tidak menanyakan
hal tersebut.” Kemudian kedua orang itu (Abdullah bin Syadad dan Abu Burdah,
red) mengutusku menemui Abdurrahman bin Abza. Aku menanyakannya lagi kepada
orang lain. Ia menjawab: “Para sahabat Nabi dahulu pada zaman Nabi melakukan
salaf (tetapi) kami tidak menanyakan mereka; apakah mereka memiliki lading atau
tidak?”
5.
Tidak mencantumkan tempat serah terima
tidak merusak akad
Kalau kedua belah pihak yang berakad tidak
mencantumkan penentuan tempat serah terima, salam dinyatakan sah, dan tempat
ditentukan kemudian. Karena soal ini tidak dijelaskan oleh Hadits. Jika itu
merupakan syarat tentu Rasulullah akan menyebutkannya seperti beliau
menyebutkan takaran, timbangan dan waktu.
6.
Salam untuk buah yang masak dan susu
Adapun salam untuk
susu dan buah yang sudah masak yang mesti dipetik, itu termasuk masalah
sivil, mereka sepakat untuk itu. Hokum ini berlandaskan kaedah kemaslahatan.
Karena orang membutuhkan pengambilan susu dan buah yang sudah masak secara
bertahap dan sulit bagi mereka mengambilnya setiap hari sejak awal (ia masak).
Kadang-kadang uang tidak dapat dikumpulkan, dan harganya pun dapat berbeda,
sedangkan pemilik susu dan buah membutuhkan uang, sementara yang ada padanya
tidak dapat digunakan. Selama persoalannya adalah kebutuhan, maka untuk kedua jenis ini diberikan rukhshah
(keringanan) dengan mengiaskannya kepada ‘arayu dan dasar-dasar kebutuhan serta
kemaslahatan lainnya.
7.
Boleh mengambil barang lain sebagai ganti
Jumhur ahli fiqih berpendapat; tidak boleh mengambil
barang lain yang bukan barang yang ditentukan dalam salam sebagai gantinya,
sementara itu akad masih berlaku, karena bisa jadi ia (penjual) telah menjual
barang yang mestinya ia serahkan sebelum penyerahterimaan.
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ
اَسْلَفَ فِى شَيْئٍ فَلاَيَصْرِفُهُ
اِلَى غَيْرِهِ (رواه الدارقطنى)
Artinya: “Siapa yang mensalafkan (mengambil panjar) sesuatu maka dia
tidak boleh mengopernya kepada orang lain” (HR Ad-Daruquthni)
Imam Malik dan Ahmad membolehkan.
Ibnu Al-Nuzir berkata: diriwayatkan dari Ibnu Abbas,
ia berkata: “Jika kamu mensalafkan (mengambil panjar barang) sesuatu untuk
waktu tertentu, kamu harus menyerahkan barang yang kau salafkan, jika tidak,
ambillah ganti yang lebih sedikit jangan kau mengambil keuntungan dua kali”.
Demikian menurut yang diriwayatkan Syu’bah. Ia
merupakan seorang sahabat. Dan ucapan seorang sahabat dapat dijadikan hujjah
selama tidak ada yang menentangnya.
Adapun hadits yang periwayatnya terdapat Athiyah bin
Saad tidak dapat dijadikan hujjah. Ibnu al-Qyyim memperkuat pendapat ini.
Setelah argumentasi kedua kelompok didiskusikan, jelas
tidak ada dasar-dasar pengharaman (salam) baik dari ijma’, maupun qias dan
bahwa nash dan qias membenarkan adanya.
Yang jelas wajib pada waktu terjadinya perselisihan,
adalah mengembalikan persoalan kepada Allah dan Rasul-Nya, adapun jika akad
salam fasakh dengan sebab iqalah dan lainnya, ada beberapa pendapat:
Ada yang mengatakan: Tidak boleh seseorang mengambil
ganti dari muamalah tak tunai, selain jenis barang tersebut (pada perjanjian).
Pendapat lain: Boleh saja mengambil gantinya, seperti
yang terdapat pada mazhab Asy Syafi’i. sementara itu al-Qadhi Abu Ya’la dan
Ibnu Taimiyah mengatakan: boleh khiar.
Adapun Ibnu Qayyim berpendapat: Boleh saja (sah)
karena ganti itu masih berada dalam tanggungan tak ubahnya seperti hutang dalam
Qiradh dan lain-lainnya.[4]
BAB
II
ASAS-ASAS
YANG BERKAITAN DENGAN FILSAFAT HUKUM ISLAM DALAM BIDANG MUAMALAH
Jual beli adalah pertukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling
merelakan atau memindahkan hak milik dengan ada penggantinya melalui cara yang
dibolehkan. Kata “al-bay” (jual) dan “asy-syira” (beli)
dipergunakan dalam pengertian yang sama, yaitu perniagaan yang berkaitan dengan
pertukaran barang dengan alat penukarnya atau dengan barang yang nilainya sama.
Menurut hokum Islam, jual beli diartikan sebagai persetujuan suatu kontrak yang
dilakukan oleh penjual dan pembeli untuk saling bertukar antara barang dengan
alat tukar tertentu, sehingga terjadilah proses serah terima yang benar menurut
hokum perdagangan. (Idris Ahmad, 1993: 5).
Menurut Sayyid Sabiq (1988, 47), jual beli adalah memberikan sesuatu
karena ada penggantian yang memiliki nilai yang sama dengan harga tertentu.
Oleh karena itu, dalam jual beli terjadi proses pemberian harta karma menerima
harta yang lain dengan ikrar penyerahan dan jawaban penerimaan atau disebut
dengan ijab dan Kabul (Moh. Rifa’I, 1989: 183). Demikian pula, ditegaskan oleh
Moh. Anwar (1989, 36) secara linguistic (kebahasaan), jual beli adalah tukar-menukar sesuatu dengan yang
lainnya. Menurut istilah fiqh, jual beli merupakan perikatan atau akad yang
mengandung pengertian pertukaran harta benda atau jasa atau dengan harta benda
lagi untuk selama-lamanya (menjadi milik masing-masing) menurut peraturan yang
telah ditentukan.
Jual beli secara substabsial adalah “aktivitas tukar-menukar barang
dengan menggunakan hokum perdagangan yang telah berlaku dan disepakati”.
Dalam hokum perdagangan yang telah
berlaku dan disepakati”. Dalam hokum perdagangan, menurut Suryodiningrat (1991:
6), “terdapat suatu perjanjian, persetujuan dan kontrak antara pihak penjual
dengan pihak pembeli dengan saling mengikatkan diri antara barang dengan harga
barang yang ditransaksikan. Karena prosesnya merupakan kesepakatan, dalam jual
beli harus ada sikap saling merelakan”. Sayyid Sabiq (1988: 47-48) mengatakan
bahwa “pada dasarnya, sikap tersebut merupakan hakikat dalam perjanjian jual
beli di antara para pihak”.
Sikap yang harus ada diantara dua pihak tersebut, yakni penjual dan
pembeli yang dikuatkan oleh adanya akad, yakni ijab dan Kabul. Pertukarannya
dapat berupa barang dengan barang atau barang dengan uang. Hal itu sangat
bergantung pada kondisi social dan kesepakatanya. Namun, karena sekarang jual
beli lebih umum menukarkan barang dengan uang, tentu saja keberlakuannya lebih
diakui oleh seluruh aktivitas jual beli di
dunia (Idris Ahmad, 1993: 5). Moh. Rifa’I berpendapat bahwa jual beli
merupakan pemberian harta karena menerima harta yanglain dengan ikrar penyerahan
dan jawaban penyerahan atau ijab dan Kabul sesuai dengan rukun dan syarat yang
berlaku dalam hokum Islam atau hokum perdagangan di dunia”. Pengertian ini sama
dengan yang dikemukakan oleh Moh. Anwar (1988: 36) bahwa jual beli adalah
“perikatan dalam pertukaran hak milik atas suatu benda atau jasa melalui ijab
dan Kabul”.
Rahmat Syafe’I (2004: 74) mendefinisikan jual beli sebagai aktivitas
manusia yang berkaitan dengan pertukaran harta benda, sehingga terjadi
pemindahan hak milik atas benda atau harta masing-masing”. Demikian pula,
dengan pemahaman Hasbi ASH-Shidieqie bahwa jual beli merupakan suatu pertukaran
harta dengan harta lain yang bernilai sama berdasarkan cara yang khusus yang
dibolehkan, sehingga saling memiliki hak dalam benda yang berbeda serta manfaat
yang berlainan sesuai kebutuhan masing-masing pihak, baik penjual maupun
pembeli. (Hasbi Ash-Shidieqie, 1991: 3603).
Dari pengertian yang dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa jual beli
merupakan bagian kegiatan manusia yang berkaitan dengan hal-hal berikut:
1.
Adanya pertukaran harta benda dan jasa
2.
Adanya pertukaran nilai benda yang sama
dalam jenis yang berbeda atau jasa yang dihargakan dengan kebendaan dalam harga
yang sepadan
3.
Adanya pengambilan manfaat atas benda
atau jasa yang berbeda oelh pihak penjual dan pembeli
4.
Adanya perpindahan hak milik dari harta
dan jasa seseorang kepada orang lain
5.
Adanya peraturan yang berkaitan dengan
legalitas jual beli
6.
Adanya sikap saling merelakan di antara
penjual dan pembeli
Dasar hokum yang dijadikan dalil dibolehkannya melakukan jual beli adalah firman Allah SWT, yang terdapat dalam
surat An-Nisa’: 29:
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& cqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4
wur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4
¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJÏmu ÇËÒÈ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan
janganlah kamu membunuh dirimu[287]; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.” (QS. An-Nisa’: 29)
Demikian pula terdapat dalam surat Al-Baqarah: 275, berikut:
úïÏ%©!$# tbqè=à2ù't (#4qt/Ìh9$# w tbqãBqà)t wÎ) $yJx. ãPqà)t Ï%©!$# çmäܬ6ytFt ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4
y7Ï9ºs öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3
¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4
`yJsù ¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§ 4ygtFR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y ÿ¼çnãøBr&ur n<Î) «!$# (
ïÆtBur y$tã y7Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# (
öNèd $pkÏù crà$Î#»yz ÇËÐÎÈ
Artinya: “Orang-orang yang Makan (mengambil) riba
tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti
(dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum
datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali
(mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal
di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 275)
Dengan uraian diatas, dalam setiap perniagaan terutama jual beli, harus
mengacu kepada asas-asas sebagai berikut:
1.
Asas kejujuran
2.
Asas saling merelakan
3.
Asas keterbukaan dalam hal transaksi
4.
Asas manfaat dari barang yang
diperjualbelikan
5.
Asas bekerja sama dalam kehidupan ekonomi
6.
Asas realistic dengan cara menghindarkan
perniagaan yang spekulatif
7.
Asas tolong-menolong, dengan cara memberi
tempo bagi yang kurang mampu membayar secara kontan[5]
BAB
II
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah tersebut diatas maka penulis dapat
menyimpulkan bahwa, Diantara bukti kesempurnaan agama Islam ialah dibolehkannya
jual beli dengan cara salam, yaitu akad pemesanan suatu barang dengan kriteria
yang telah disepakati dan dengan pembayaran tunai pada saat akad dilaksanakan.
Yang demikian itu, dikarenakan dengan akad ini kedua belah pihak mendapatkan
keuntungan tanpa ada unsur tipu-menipu atau ghoror (untung-untungan).
Dalam setiap perniagaan terutama jual beli, harus mengacu kepada
asas-asas sebagai berikut:
1.
Asas kejujuran
2.
Asas saling merelakan
3.
Asas keterbukaan dalam hal transaksi
4.
Asas manfaat dari barang yang
diperjualbelikan
5.
Asas bekerja sama dalam kehidupan ekonomi
6.
Asas realistic dengan cara menghindarkan
perniagaan yang spekulatif
7.
Asas tolong-menolong, dengan cara memberi
tempo bagi yang kurang mampu membayar secara kontan
DAFTAR
PUSTAKA
Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. Filsafat Hukum
Islam, Pustaka Setia. Bandung, 2008
Prof. Dr. H. Suhendi, Fiqih Muamalah. Rajawali
Pers. Jakarta. 2010
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, PT. Al-Ma’arif,
Bandung. 1987
WoW Interesting Article, Next Visit >>> Website
ReplyDelete