Headlines News :

Lomba Blog BPJS Ketenagakerjaan

Home » » Fiqih Mu'amalah: SALAM

Fiqih Mu'amalah: SALAM




BAB I
SALAM

A.     Pengertian Salam
Diantara bukti kesempurnaan agama Islam ialah dibolehkannya jual beli dengan cara salam, yaitu akad pemesanan suatu barang dengan kriteria yang telah disepakati dan dengan pembayaran tunai pada saat akad dilaksanakan. Yang demikian itu, dikarenakan dengan akad ini kedua belah pihak mendapatkan keuntungan tanpa ada unsur tipu-menipu atau ghoror (untung-untungan).
Pembeli (biasanya) mendapatkan keuntungan berupa:
1.      Jaminan untuk mendapatkan barang sesuai dengan yang ia butuhkan dan pada waktu yang ia inginkan.
2.      Sebagaimana ia juga mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah bila dibandingkan dengan pembelian pada saat ia membutuhkan kepada barang tersebut.
Sedangkan penjual juga mendapatkan keuntungan yang tidak kalah besar dibanding pembeli, diantaranya:
1.      Penjual mendapatkan modal untuk menjalankan usahanya dengan cara-cara yang halal, sehingga ia dapat menjalankan dan mengembangkan usahanya tanpa harus membayar bunga. Dengan demikian selama belum jatuh tempo, penjual dapat menggunakan uang pembayaran tersebut untuk menjalankan usahanya dan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa ada kewajiban apapun.
2.      Penjual memiliki keleluasaan dalam memenuhi permintaan pembeli, karena biasanya tenggang waktu antara transaksi dan penyerahan barang pesanan berjarak cukup lama.
Salam dinamai juga dengan Salaf (pendahuluan). Yaitu penjualan sesuatu dengan criteria (yang masih berbeda) dalam tanggungan dengan pembayaran segera/disegerakan.
Para Fuqaha menamainya dengan al-Mahawa’ij (barang-barang mendesak), kareana ia sejenis juga beli barang yang tidak ada di tempat sementara dua pihak yang melakukan jual beli mendesak.
Pemilik uang butuh membeli barang dan pemilik barang butuh pembayarannya sebelum barang ada di tangan untuk ia gunakan memenuhi kebutuhan dirinya dan kebutuhan tanaman-nya sampai waktu tanaman dapat dipanen/masak. Jual beli semacam ini termasuk kemaslahatan kebutuhan.
Pembeli disebut al-Muslim atau pemilik salam (yang menyerahkan), dan penjual disebut al-muslamu  ilaihi (orang yang diserahi), sedangkan barang yang dijual disebut al-muslam fiih (barang yang akan diserahkan) dan harganya disebut ra’su maalis salam (modal salam).[1]

B.     Landasan Hukum
Landasan hokum disyari’atkannya dengan kitabullah dan sunnah serta ijma’.
1.      Ibnu Abbas ra. Berkata:
اَشْهَدُ اَنَّ السَّلَفَ الْمَضْمُوْنَ اِلَى اَجَلٍ قَدْ اَحَلَّهُ اللهُ فِى كِتَابِهَ وَاَذِنَ فِيْهِ, ثُمَّ قَرَاَقَوْلَهُ تَعَالَى: يَاَيُهَا الَّذِيْنَ اَمَنُّوا اِذَاتَدَايَنْتُمْ بِدَيْنِ اِلَى اَجَلٍ مُسَمَّى فَاكْتُبُوْهُ
Artinya: “Aku bersaksi as-salaf yang dijamin untuk waktu tertentu benar-benar dihalalkan Allah di dalam kitabullah dan diizinkan.” Kemudian ia membaca ayat Allah: “hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaknya kamu menuliskannya dengan benar”.  (QS. Al-Baqarah: 282)
2.      Al-Bukhari dan Muslim  meriwayatkan, dating di Madinah mereka melakukan salaf untuk penjualan buah-buahan (dengan waktu) satu tahun atau dua tahun. Lalu beliau berkata:
مَنْ اَسْلَفَ فَلْيُسْلِفْ فِى كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ وَوَزْنٍ مَعْلُوْمٍ اِلَى اَجَلٍ مَعْلُوْمٍ
Artinya: “Siapa yang melakukan salaf, hendaknya melakukannya dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, sampai dengan batas waktu tertentu.”
Ibnu al-Munzir mengatakan: Semua orang yang ilmunya kami pelihara kami hafal mengatakan: bahwa salam itu boleh.[2]

C.     Kesesuaiannya Dengan Kaidah-Kaidah Syariat
Pensyari’atan salam sesuai dengan tuntutan syariat dan sesuai pula dengan kaedah-kaedahnya. Tidak bertentangan dengan kias, karena sebagaimana penangguhan barang seperti dalam salam tanpa ada pembedaan antara keduanya dan Allah berfirman:
#sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù
Artinya: “apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. “ (QS. Al-Baqarah: 282)
Yang dimaksud kata dain dalam ayat ini (bukan hutang), tetapi muamalah tidak secara tunai untuk barang yang terkandung dalam jaminan. Selama criteria  barang diketahui jelas dan berada dalam tanggungan (penjual, red) dan si pembeli meyakini akan dipenuhi oleh si penjual pada saatnya nanti seperti yang terkandung dalam ayat ini, sebagaimana dikatakan Ibnu Abbas, selama itu pula ia tidak termasuk larangan Nabi SAW, tentang tidak bolehnya seseorang menjual sesuatu yang tidak ada padanya sebagaimana sabda beliau yang diriwayatkan dari al-Hakim, Ibnu Hazam yang Berbunyi:
لاَتَبِعْ مَالَيْسَ عِنْدَكَ
artinya: “Janganlah kamu menjual barang yang tidak ada padamu”. (HR. Ahmad).
Sesungguhnya yang dimaksud dengan pelarangan ini, bahwa seseorang menjual barang yang ia tidak dapat menyerahkannya. Karena, barang yang ia tidak dapat menyerahkannya, pada hakikatnya bukanlah miliknya. Sehingga jual beli menjadi gharar atau petualangan.
Adapun jual beli barang yang berkriteria, dan ada jaminannya, disertai sangkaan kuat dapat dipenuhi tepat pada waktunya, tidaklah termasuk dalam kategori ini.[3]


D.    Syarat-Syaratnya
Dalam jual beli ada syarat-syarat yang harus diikuti sehingga jual beli menjadi sah. Di antaranya persyaratan untuk modal (pembayaran) dan persyaratan untuk barang yang dijual.
1.      Syarat pembayaran (modal)
a.       Diketahui jelas jenisnya
b.      Diketahui jelas kadarnya
c.       Diserahkan di majelis
2.      Syarat barang yang disalamkan
a.       Bahwa barang tersebut ada tanggungan
b.      Barang tersebut berkriteria yang bisa memberikan kejelasan kadar dan sifat-sifatnya yang membedakannya dengan lainnya agar tidak mengandung gharar dan terhindar dari perselisihan.
c.       Bahwa batas waktu diketahui jelas.
Bolehkah penentuan batas waktu sampai dengan masa panen, masa potong, datang haji dan sampai diberikan?
Menurut imam Malik: boleh saja selagi diketahui jelas seperti beberapa bulan dan beberapa tahun.

3.      Persyaratan tempo
Jumhur berpendapat perlunya menuliskan tempo dalam jual beli salam. Dan mereka berpendapat: Salam tidak boleh berlangsung seketika (sekarang).
Para penganut mazhab Asy-Syafi’i berpendapat: Boleh saja (seketika, red), karena jika dibolehkan penangguhan padahal bisa jadi gharar, pembolehannya untuk waktu itu juga tentu lebih utama. Dan disebutnya waktu/masa/tempo dalam hadits diatas bukanlah untuk penangguhan tetapi bermakna: jika untuk waktu yang diketahui.
Menurut Asy-Syaukani: Yang benar menurut pendapat orang-orang Syafi’I, yaitu tidak adanya penentuan penangguhan  mengingat tidak adanya dalil yang mendukung, menghormati hokum yang tanpa dalil bukanlah kelaziman.
Adapun yang dikatakan bahwa salam harus tidak ada penagguhan, itu sebenarnya untuk jual beli  barang yang tidak ada rukhsahnya, kecuali untuk salam yang tidak ada bedanya dengan jual beli biasa, hanya; soal waktu yang ditangguhkan.
Dengan demikian berarti sudah dijawab; bahwa sighatnya berbeda, dan itu sudah cuku (sebagai jawaban, red).
4.      Barang Tidak Mesti Berada di Tangan Penjual
Barang salam tidak disyaratkan barang berada pada penjual, tetapi harus ada pada waktu yang ditentukan. Manakala barang jualan tidak ada pada waktu yang ditentukan, akad menjadi fasakh. Tidak adanya barang sebelum waktu ditentukan tidak membawa akibat apa-apa.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Muhammad bin al-Mujalid, berkata: Abdullah bin Syadad dan Abu Burdah mengutusku menemui  Abdullah bin Abi Aufa, mereka mengatakan; Tanyakan padanya apakah para sahabat Nabi pada zaman Nabi SAW melakukan salaf (salam) untuk gandum?
Abdullah bin Abi Aufa menjawab: “Dahulu kami melakukan salaf para petani penduduk Syam untuk gandum dan minyak dalam takaran yang diketahui jelas dan waktu yang jelas”.
Aku tanyakan lagi: “Dari mana asal barang yang ada padanya?”
Abdullah bin Ali Aufa menjawab: “Kami tidak menanyakan hal tersebut.” Kemudian kedua orang itu (Abdullah bin Syadad dan Abu Burdah, red) mengutusku menemui Abdurrahman bin Abza. Aku menanyakannya lagi kepada orang lain. Ia menjawab: “Para sahabat Nabi dahulu pada zaman Nabi melakukan salaf (tetapi) kami tidak menanyakan mereka; apakah mereka memiliki lading atau tidak?”
5.      Tidak mencantumkan tempat serah terima tidak merusak akad
Kalau kedua belah pihak yang berakad tidak mencantumkan penentuan tempat serah terima, salam dinyatakan sah, dan tempat ditentukan kemudian. Karena soal ini tidak dijelaskan oleh Hadits. Jika itu merupakan syarat tentu Rasulullah akan menyebutkannya seperti beliau menyebutkan takaran, timbangan dan waktu.
6.      Salam untuk buah yang masak dan susu
Adapun salam untuk  susu dan buah yang sudah masak yang mesti dipetik, itu termasuk masalah sivil, mereka sepakat untuk itu. Hokum ini berlandaskan kaedah kemaslahatan. Karena orang membutuhkan pengambilan susu dan buah yang sudah masak secara bertahap dan sulit bagi mereka mengambilnya setiap hari sejak awal (ia masak). Kadang-kadang uang tidak dapat dikumpulkan, dan harganya pun dapat berbeda, sedangkan pemilik susu dan buah membutuhkan uang, sementara yang ada padanya tidak dapat digunakan. Selama persoalannya adalah kebutuhan, maka  untuk kedua jenis ini diberikan rukhshah (keringanan) dengan mengiaskannya kepada ‘arayu dan dasar-dasar kebutuhan serta kemaslahatan  lainnya.
7.      Boleh mengambil barang lain sebagai ganti
Jumhur ahli fiqih berpendapat; tidak boleh mengambil barang lain yang bukan barang yang ditentukan dalam salam sebagai gantinya, sementara itu akad masih berlaku, karena bisa jadi ia (penjual) telah menjual barang yang mestinya ia serahkan sebelum penyerahterimaan.
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ اَسْلَفَ  فِى شَيْئٍ فَلاَيَصْرِفُهُ اِلَى غَيْرِهِ (رواه الدارقطنى)
Artinya: “Siapa yang mensalafkan (mengambil panjar) sesuatu maka dia tidak boleh mengopernya kepada orang lain” (HR Ad-Daruquthni)
Imam Malik dan Ahmad membolehkan.
Ibnu Al-Nuzir berkata: diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Jika kamu mensalafkan (mengambil panjar barang) sesuatu untuk waktu tertentu, kamu harus menyerahkan barang yang kau salafkan, jika tidak, ambillah ganti yang lebih sedikit jangan kau mengambil keuntungan dua kali”.
Demikian menurut yang diriwayatkan Syu’bah. Ia merupakan seorang sahabat. Dan ucapan seorang sahabat dapat dijadikan hujjah selama tidak ada yang menentangnya.
Adapun hadits yang periwayatnya terdapat Athiyah bin Saad tidak dapat dijadikan hujjah. Ibnu al-Qyyim memperkuat pendapat ini.
Setelah argumentasi kedua kelompok didiskusikan, jelas tidak ada dasar-dasar pengharaman (salam) baik dari ijma’, maupun qias dan bahwa nash dan qias membenarkan adanya.
Yang jelas wajib pada waktu terjadinya perselisihan, adalah mengembalikan persoalan kepada Allah dan Rasul-Nya, adapun jika akad salam fasakh dengan sebab iqalah dan lainnya, ada beberapa pendapat:
Ada yang mengatakan: Tidak boleh seseorang mengambil ganti dari muamalah tak tunai, selain jenis barang tersebut (pada perjanjian).
Pendapat lain: Boleh saja mengambil gantinya, seperti yang terdapat pada mazhab Asy Syafi’i. sementara itu al-Qadhi Abu Ya’la dan Ibnu Taimiyah mengatakan: boleh khiar.
Adapun Ibnu Qayyim berpendapat: Boleh saja (sah) karena ganti itu masih berada dalam tanggungan tak ubahnya seperti hutang dalam Qiradh dan lain-lainnya.[4]



BAB II
ASAS-ASAS YANG BERKAITAN DENGAN FILSAFAT HUKUM ISLAM DALAM BIDANG MUAMALAH

Jual beli adalah pertukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling merelakan atau memindahkan hak milik dengan ada penggantinya melalui cara yang dibolehkan. Kata “al-bay” (jual) dan “asy-syira” (beli) dipergunakan dalam pengertian yang sama, yaitu perniagaan yang berkaitan dengan pertukaran barang dengan alat penukarnya atau dengan barang yang nilainya sama. Menurut hokum Islam, jual beli diartikan sebagai persetujuan suatu kontrak yang dilakukan oleh penjual dan pembeli untuk saling bertukar antara barang dengan alat tukar tertentu, sehingga terjadilah proses serah terima yang benar menurut hokum perdagangan. (Idris Ahmad, 1993: 5).
Menurut Sayyid Sabiq (1988, 47), jual beli adalah memberikan sesuatu karena ada penggantian yang memiliki nilai yang sama dengan harga tertentu. Oleh karena itu, dalam jual beli terjadi proses pemberian harta karma menerima harta yang lain dengan ikrar penyerahan dan jawaban penerimaan atau disebut dengan ijab dan Kabul (Moh. Rifa’I, 1989: 183). Demikian pula, ditegaskan oleh Moh. Anwar (1989, 36) secara linguistic (kebahasaan), jual  beli adalah tukar-menukar sesuatu dengan yang lainnya. Menurut istilah fiqh, jual beli merupakan perikatan atau akad yang mengandung pengertian pertukaran harta benda atau jasa atau dengan harta benda lagi untuk selama-lamanya (menjadi milik masing-masing) menurut peraturan yang telah ditentukan.
Jual beli secara substabsial adalah “aktivitas tukar-menukar barang dengan menggunakan hokum perdagangan yang telah berlaku dan disepakati”. Dalam  hokum perdagangan yang telah berlaku dan disepakati”. Dalam hokum perdagangan, menurut Suryodiningrat (1991: 6), “terdapat suatu perjanjian, persetujuan dan kontrak antara pihak penjual dengan pihak pembeli dengan saling mengikatkan diri antara barang dengan harga barang yang ditransaksikan. Karena prosesnya merupakan kesepakatan, dalam jual beli harus ada sikap saling merelakan”. Sayyid Sabiq (1988: 47-48) mengatakan bahwa “pada dasarnya, sikap tersebut merupakan hakikat dalam perjanjian jual beli di antara para pihak”.
Sikap yang harus ada diantara dua pihak tersebut, yakni penjual dan pembeli yang dikuatkan oleh adanya akad, yakni ijab dan Kabul. Pertukarannya dapat berupa barang dengan barang atau barang dengan uang. Hal itu sangat bergantung pada kondisi social dan kesepakatanya. Namun, karena sekarang jual beli lebih umum menukarkan barang dengan uang, tentu saja keberlakuannya lebih diakui oleh seluruh aktivitas jual beli di  dunia (Idris Ahmad, 1993: 5). Moh. Rifa’I berpendapat bahwa jual beli merupakan pemberian harta karena menerima harta yanglain dengan ikrar penyerahan dan jawaban penyerahan atau ijab dan Kabul sesuai dengan rukun dan syarat yang berlaku dalam hokum Islam atau hokum perdagangan di dunia”. Pengertian ini sama dengan yang dikemukakan oleh Moh. Anwar (1988: 36) bahwa jual beli adalah “perikatan dalam pertukaran hak milik atas suatu benda atau jasa melalui ijab dan Kabul”.
Rahmat Syafe’I (2004: 74) mendefinisikan jual beli sebagai aktivitas manusia yang berkaitan dengan pertukaran harta benda, sehingga terjadi pemindahan hak milik atas benda atau harta masing-masing”. Demikian pula, dengan pemahaman Hasbi ASH-Shidieqie bahwa jual beli merupakan suatu pertukaran harta dengan harta lain yang bernilai sama berdasarkan cara yang khusus yang dibolehkan, sehingga saling memiliki hak dalam benda yang berbeda serta manfaat yang berlainan sesuai kebutuhan masing-masing pihak, baik penjual maupun pembeli. (Hasbi Ash-Shidieqie, 1991: 3603).
Dari pengertian yang dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa jual beli merupakan bagian kegiatan manusia yang berkaitan dengan hal-hal berikut:
1.      Adanya pertukaran harta benda dan jasa
2.      Adanya pertukaran nilai benda yang sama dalam jenis yang berbeda atau jasa yang dihargakan dengan kebendaan dalam harga yang sepadan
3.      Adanya pengambilan manfaat atas benda atau jasa yang berbeda oelh pihak penjual dan pembeli
4.      Adanya perpindahan hak milik dari harta dan jasa  seseorang kepada orang lain
5.      Adanya peraturan yang berkaitan dengan legalitas jual beli
6.      Adanya sikap saling merelakan di antara penjual dan pembeli
Dasar hokum yang dijadikan dalil dibolehkannya melakukan jual beli  adalah firman Allah SWT, yang terdapat dalam surat An-Nisa’: 29:
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu ÇËÒÈ  

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu[287]; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’: 29)

Demikian pula terdapat dalam surat Al-Baqarah: 275, berikut:
šúïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ (#4qt/Ìh9$# Ÿw tbqãBqà)tƒ žwÎ) $yJx. ãPqà)tƒ Ï%©!$# çmäܬ6ytFtƒ ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4 y7Ï9ºsŒ öNßg¯Rr'Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 `yJsù ¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§ 4ygtFR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y ÿ¼çnãøBr&ur n<Î) «!$# ( ïÆtBur yŠ$tã y7Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# ( öNèd $pkŽÏù šcrà$Î#»yz ÇËÐÎÈ  
Artinya: “Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 275)
Dengan uraian diatas, dalam setiap perniagaan terutama jual beli, harus mengacu kepada asas-asas sebagai berikut:
1.      Asas kejujuran
2.      Asas saling merelakan
3.      Asas keterbukaan dalam hal transaksi
4.      Asas manfaat dari barang yang diperjualbelikan
5.      Asas bekerja sama dalam kehidupan ekonomi
6.      Asas realistic dengan cara menghindarkan perniagaan yang spekulatif
7.      Asas tolong-menolong, dengan cara memberi tempo bagi yang kurang mampu membayar secara kontan[5]



BAB II
KESIMPULAN


Dari pembahasan makalah tersebut diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa, Diantara bukti kesempurnaan agama Islam ialah dibolehkannya jual beli dengan cara salam, yaitu akad pemesanan suatu barang dengan kriteria yang telah disepakati dan dengan pembayaran tunai pada saat akad dilaksanakan. Yang demikian itu, dikarenakan dengan akad ini kedua belah pihak mendapatkan keuntungan tanpa ada unsur tipu-menipu atau ghoror (untung-untungan).
Dalam setiap perniagaan terutama jual beli, harus mengacu kepada asas-asas sebagai berikut:
1.      Asas kejujuran
2.      Asas saling merelakan
3.      Asas keterbukaan dalam hal transaksi
4.      Asas manfaat dari barang yang diperjualbelikan
5.      Asas bekerja sama dalam kehidupan ekonomi
6.      Asas realistic dengan cara menghindarkan perniagaan yang spekulatif
7.      Asas tolong-menolong, dengan cara memberi tempo bagi yang kurang mampu membayar secara kontan



DAFTAR PUSTAKA


Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. Filsafat Hukum Islam, Pustaka Setia. Bandung, 2008
Prof. Dr. H. Suhendi, Fiqih Muamalah. Rajawali Pers. Jakarta. 2010
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, PT. Al-Ma’arif, Bandung. 1987




[1] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, PT. Al-Ma’arif, Bandung. 1987, hlm. 117
[2] Ibid. hlm. 119
[3] Prof. Dr. H. Suhendi, Fiqih Muamalah. Rajawali Pers. Jakarta. 2010, hlm. 77
[4] Ibid, hlm. 79
[5] Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. Filsafat Hukum Islam, Pustaka Setia. Bandung, 2008, hlm. 293
Share this article :

1 comment:

kirimkan komentar anda di sini

Blog Archive

Followers

Search This Blog

Blogger Themes

Random Post

Bagaimana Pendapat Anda dengan Blog ini?

Trending Topik

EnglishFrenchGermanSpainItalianDutch

RussianPortugueseJapaneseKoreanArabic Chinese Simplified
SELAMAT DATANG
script>
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Berbagai Kumpulan Makalah - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template