PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hak Asasi Manusia
Yang dimaksud dengan hak-hak asasi manusia ialah hak-hak dasar yang
dibawa sejak lahir, yang melekat pada esensinya sebagai anugerah Allah swt.
Miriam Budiardjo membatasi pengertian hak-hak asasi manusia sebagai “hak yang
dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran
atau kehadiarannya di dalam masyarakat”[1].
Sementara menurut Oemar Seno Adji, yang dimaksud dengan hak-hak asasi manusia
ialah “hak yang melekat pada martabat manusia sebagai insane ciptaan Allah Yang
Maha Esa yang sifatnya tidak boleh dilanggar oleh siapapun, dan yang
seolah-olah merupakan suatu holy area”[2]
B.
Sejarah Penegakan HAM di Barat
Sejarah perjuangan menegakkan hak-hak asasi manusia di dunia Barat baru
di mulai di sekitar abad XIII, yaitu ketika pada tahun 1215 Raja John dari
Inggris mengeluarkan sebuah Piagam yang terkenal dengan nama “Magna Charta”
atau “Piagam Agung”. Di dalam piagam ini memuat beberapa hak yang diberikan
kepada kaum bangsawan sebagai buah hasil tuntutan mereka, sekaligus memuat
beberapa pembatasan kekuasaan Raja. Magna Charta yang telah dikeluarkan sejak
abad XIII tersebut dalam kenyataannya sampai dengan abad ke-17 tak seorangpun
mengetahui bahwa ternyata di dalamnya berisi prinsip-prinsip peradilan oleh
yuri, surat
perintah penahanan dan pengawasan Parlemen atas hak pajak. Mereka sebenarnya
tidak mempunyai maksud-maksud demikian, tidak pula mereka tahu apapun tentang
konsep-konsep yang dinisbatkan kepada mereka itu. Tegasnya sebelum abad ke-17
orang-orang Barat tidak mempunyai konsep tentang hak-hak asasi manusia dan
hak-hak warganegara. Bahkan sesudah abad ke-17, walaupun para filosuf dan
pemikir hokum mengemukakan gagasan-gagasan tersebut, namun bukti praktis dan
pelaksanaan konsep-konsep tersebut baru bias ditemukan pada akhir abad ke-18,
yaitu dalam Proklamasi dan Konstitusi Amerika Serikat dan Perancis. Sesudah
itu, dalam Konstitusi berbagai negera mulai nampak adanya rujukan kepada
hak-hak asasi manusia.[3]
Berbagai Piagam dan Deklarasi tentang hak-hak asasi manusia di Barat
antara lain:
- First Charter of Virginia tahun 1606 di Amerika
- Ordonance of Virginia tahun 1618 di Amerika
- May Flower Compact tahun 1620 di Amerika
- Habeas Corpus Act tahun 1679 di Inggris
- Bill of Rights tahun 1689 di Inggris
- Pensylvania Privileges tahun 1701 di Amerika
- Declaration of Independence tahun 1776 di Amerika
- Declaration de Droit de’l Homme et du Citoyen tahun 1789 di Perancis
- The Four Freedom of Franklin D. Roosevelt tahun 1941 di Amerika
- Universal Declaration of Human Right tahun 1948 oleh PBB
C.
Hak Asasi Manusia Dalam Islam
Perjuangan umat manusia untuk merebut kembali hak-hak asasi yang
dibawanya secara heriditer dari tangan-tangan para penguasa tidak saja di mulai
sejak Raja John dari Inggris pada tahun 1215, ketika raja memberikan beberapa
hak kepada kaum bangsawan bawahannya sebagai hasil perjuangan dan tuntutan
mereka. Perjuangan menegakkan hak-hak asasi manusia telah jauh melampaui kurun
yang dapat dicatat oleh para sejarahwan.
Perjuangan terhadap hak-hak asasi tersebut telah dirintis dan
diperjuangkan oleh para Nabi dan Utusan Allah dengan gigihnya beberapa ribu
tahun sebelum Masehi.
Al-Qur’an menegaskan bahwa agama Islam adalah agama yang mengandung
ajaran yang sangat sempurna (al-Maidah: 3). Di samping memuat ajaran yang
berkaitan dengan hablun min Allah sebagai ajaran pokoknya, Islam juga
menegaskan tentang arti pentingnya hablun min an-nas (QS. Ali Imran:
112). Penegasan ini bukan saja semata-mata pengakuan (klaim) secara subyektif
dari orang Islam sendiri, akan tetapi secara jujur dan obyektif diakui juga
oleh para Orientalis bahwa Islam benar-benar merupakan ajaran hidup yang sangat
sempurna, mencakup seluruh aspek kehidupan.
Dalam hubungannya dengan ajaran pokok yang kedua seperti diatas ajaran
Islam sangat besar sekali menaruh perhatian terhadap perikehidupan umat
manusia. Ibrahim Madkour menyatakan bahwa “Dalam al-Qur’an tidak ada suatu
subyek yang paling banyak dibicarakan daripada manusia”[4].
Al-Qur’an telah menempatkan manusia dalam posisi yang sangat mulia, tinggi dan
terhormat (QS. Alam Nasyrah: 4 dan Al-Maidah: 32). Dan terhadap alam semesta
manuisa diposisikan sebagai subyek (Al-Baqarah: 29 dan Al-Mulk: 15). Al-Qur’an
menempatkan manusia selaku khalifah/wakil Allah di muka bumi (QS. Al-Baqarah: 30
dan QS. An-Nur: 55). Dari beberapa penegasan di atas dapat dinyatakan bahwa
sesungguhnya ajaran Islam sangat menaruh perhatian terhadap hak-hak asasi yang
dimiliki oleh manusia. Bahkan dapat dikatakan Islam merupakan agama yang paling
peduli terhadap harkat dan martabat manusia tanpa kecuali dan tanpa
diskriminasi, jauh melebihi dari lainnya.
D.
Perbedaan Konsep HAM antara Barat
dan Islam
Menurut A.K. Brohi, dalam tulisannya yang berjudul “Islam dan Hak-Hak
Asasi Manusia” menyatakan bahwa “ada sebuah perbedaan penting di dalam
sudut-sudut pandangan Islam dengan Barat terhadap hak-hak asasi manusia. Sudut
pandangan Barat pada umumnya dapat disebut bersifat antroposentris, dengan
pengertian bahwa manusia dipandang sebagai ukuran bagi segala sesuatu, karena ia
adalah titik tolak dari semua pemikiran dan perbuatan. Sebaliknya, sudut
pandangan Islam bersifat teosentris, sadar kepada Allah. Disini Yang Mutlak
adalah yang terpenting, sedangkan manusia itu ada hanya untuk mengabdi kepada
Sang Pencipta Yang Maha Kuasa dan Maha Ada, satu-satunya penopang susila,
mental dan spiritual manusia, menjamin terwujudnya aspeirasi-aspirasi dan yang
memungkinkan transendensinya.
Penegasan adanya perbedaan konsep HAM antara Islam dan dunia Barat
dikemukakan juga oleh Roger Garaudy bahwa “persamaan dalam Islam, sebagaimana
kemerdekaan yang mempunyai dasar yang berbeda secra radikal dengan apa yang
terdapat dalam konsep Barat. Persamaan bukannya sifat-sifat individu yang hidup
sendirian, akan tetapi ekspresi dan konsekuensi dari rasa terikat pada Dzat
Yang Mutlak, ekspresi dari kehadiran Ilahi dalam jiwa manusia dan kehadiran
itulah yang memungkinkan manusia untuk mengangkat diri setinggi-tingginya di
atas segala lembaga dan segala kemampuan untuk berkuasa”.[5]
Sementara itu Hasbi as-Shiddiqi menyatakan bahwa masalah hak-hak asasi manusia
mungkin bebas dari pandangan-pandangan yang kontradiktif, walaupun kenyataannya
– karena issue ini juga berkaitan dengan falsafah yang dianut oleh suatu negera
– penafsiran terhadap terma yang digunakan dalam kamus hak-hak asasi manusia
beragam dan bahkan bertentangan satu sama lain. Menurut Hasbi as-Shiddiqi,
Islam menafsirkan halini lebih beragam karena sumber-sumbernya sama, yaitu
al-Qur’an dan as-Sunnah.
E.
Piagam Madinah
Konsep dasar yang tertuang dalam
piagam yang lahir di masa Nabi Muhammad saw ini adalah adanya pernyataan
atau kesepakatan masyarakat Madinah untuk melindungi dan menjamin hak-hak
sesame warga masyarakat tanpa memandang latar belakang, suku dan agama. Piagam
Madinah atau Mitsaqu al-Madinah yang dideklarasikan oleh Rasulullah saw pada
tahun 622 M, merupakan kesepakatan-kesepakatan tentang aturan-aturan yang
berlaku bagi masyarakat Madinah yang dipimpin oleh Nabi.
Terdapat dua landasan pokok bagi kehidupan bermasyarakat yang diatur dalam
Piagam Madinah, yaitu:
- Semua pemeluk Islam adalah satu umat walaupun mereka berbeda suku dan bangsa
- Hubungan antara komunitas Muslim dan non Muslim didasarkan pada prinsip-prinsip:
a.
Berinteraksi secara baik dengan sesame
tetangga
b.
Saling membantu dalam menghadapi musuh
bersama
c.
Membela mereka yang teraniaya
d.
Saling menasehati
e.
Menghormati kebebasan beragama
Menurut ahli sejarah, piagam ini adalah naskah otentik (asli) yang tidak
diragukan keasliannya. Secara sosiologis piagam ini merupakan antisipasi dan
jawaban terhadap realitas social masyarakatnya. Secara umum sebagaimana terbaca
dalam naskah tersebut, piagam Madinah mengatur kehidupan social penduduk
madinah. Walaupun mereka hetterogen, kehidupan mereka adalah sama,
masing-masing memiliki kebebasan untuk memeluk agama yang mereka yakini dan
melaksanakan aktivitas dalam bidang social ekonomi.
Setiap individu memiliki kewajiban yang sama untuk membela Madinah,
tempat tinggal mereka. Dengan demikian, Piagam Madinah menjadi alat legitimasi
Rasulullah saw untuk menjadi pemimpin bukan saja kaum muslimin (Muhajirin dan
Anshar) tetapi bagi seluruh penduduk Madinah. Secara substansial, piagam ini
bertujuan untuk menciptakan keserasian politik
dan mengembangkan toleransi sosio-religius dan budaya seluas-luasnya.
Piagam ini bersifat revolusioner, karena menentang tradisi kesukuan
orang-orang Arab pada saat itu. Tidak ada satu sukupun yang memiliki
keistimewaan atau kelebihan dengan suku lain. Jadi dalam piagam tersebut sangat
ditekankan asas kesamaan dan kesetaraan (equality-egalite).[6]
F.
Deklarasi Kairo (Cairo Declaration)
Dalam pandangan negera-negara Islam HAM Barat tidak sesuai dengan
pandangan ajaran Islam yang telah ditetapkan oleh Allah swt. Berkenaan dengan
hal itu, Negara-negara Islam yang tergabung dalam OKI atau Organization of the
Islamic Conference (OIC) pada tanggal 5 Agustus 1990 mengeluarkan deklarasi
tentang kemanusiaan sesuai syariah Islam di Kairo. Deklarasi tentang HAM yang
dikeluarkan oleh OKI yang kemudian dikenal dengan sebutan “Deklarasi Kairo” ini
memuat 24 pasal, dan seluruhnya berdasarnya al-Qur’an dan as-Sunah.
Dalam realitasnya HAM yang dideklarasikan di Kairo ini memiliki persamaan
dengan The Universal Declaration of Human Rights yang dideklarasikan oleh PBB
pada tahun 1948.
G.
Penegakan dan Perlindungan HAM di
Indonesia
1.
HAM dalam UUD 1945
UUD 45 disusun oleh Panitia Kecil Perancang Undang-Undang Dasar yang
diketuai oleh Prof. Dr. Mr. Soepomo. UUD ini disusun oleh Badan Penyidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada akhir masa Pendudukan
Jepang. Dalam suasana Negara dalam keadaan perang, dan lagi pula tenggang masa
kerjanya teramat sangat singkat (kurang lebih 10 hari), oleh karena itu dapat
dimaklumi kalau UUD 45 hanya memuat 37 pasal yang sifatnya masih sangat umum.
Dan untuk mengatasi masalah tersebut hamper sebagian besar pasal-pasanya selalu
diakhiri dengan kalimat “…ditetapkan dengan Undang-Undang” atau “…dan diatur
dengan Undang-Undang”.
Pembahasan mengenai perlu atau tidaknya hak-hak asasi warganegara
dimasukkan ke dalam UUD 45 sebagaimana diatas pada akhirnya tercapai dan dapat
dirumuskan melalui semacam kompromi
antara kedua belah pihak seperti yang terformulasikan dalam tujuh buah pasal,
yaitu pasal 27-33 dan pasal 34 pada UUD 45.
2.
HAM dalam Konstitusi RIS
Pada waktu bangsa Indonesia memasuki babakan baru, yaitu ketika Negara
Indonesia berbentuk Serikat, maka UUD yang digunakannya adalah UUD yang baru,
yang lebih terkenal dengan sebutan Konstitusi RIS. Sewaktu para perumus
konstitusi tengah membahas masalah hak-hak asasi warganegara, mereka menyadari
sepenuhnya betapa perlunya menuangkan hak-hak asasi warganegara secara lebih
terperinci lagi, yang dapat mencakup seluruh aspek hak-hak dasar yang
semestinya dimiliki oleh setiap warganegara.
Dengan segala kesungguhannya akhirnya team perumus dapat menformulasikan
sebanyak 27 pasal yang berhubungan dengan pengakuan HAM sebagaimana yang
termuat dalam Bagian V tentang “Hak-Hak dan Kebebasan-Kebebasan Dasar
Manusia”, yang secara berturut-turut termuat dalam pasal 7 sampai dengan padal
33.
3.
HAM Dalam UUD-S tahun 1950
UUD-S 1950 pada hakekatnya adalah merupakan penjelmaan dari Konstitusi
RIS setelah terlebih dahulu direvisi agar cocok diterapkan dalam bangunan
Negara yang berbentuk Negara Kesatuan. Oleh karena dapat dimaklumi kalau pasal-pasal
yang memuat hak-hak asasi manusia dalam UUD-S 1950 hampir serupa dengan
pasal-pasal yang terdapat dalam Konstitusi RIS. Bahkan masih ditambah satu
pasal lagi, hingga jumlahnya menjadi 28 pasal seperti yang termuat dalam Bagian
V tentang “Hak-Hak dan Kebebasan-Kebebasan Dasar Manusia” mulai dari
pasal 7 hingga dengan pasal 34.
4.
HAM Sesudah Dekrit Presiden 5 Juli
1959
Sesudah Negara Indonesia kembali ke UUD 45 lewat Dekrit 5 Juli 1959, MPRS
dalam sidangnya pada tahun 1968 menilai bahwa pelaksanaan perlindungan terhadap
hak-hak asasi manusia selama masa Demokrasi Terpimpin sama sekali terabaikan.
Berbagai langkah kebijaksanaan pemerintah yang nyata-nyata telah melanggar HAM selalu saja dinyatakan
bahwa apa yang dilakukannya tetap dalam koridor UUD 1945, dalam setiap
kebijakannya mereka selalu berdalih “atas dasar Pancasila dan UUD 45”.
Semua itu bias terjadi karena memang “tidak lengkapnya hak-hak asasi
dicantumkan dalam UUD yang ada”.[7]
BAB
II
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah tersebut diatas maka penulis dapat menyimpulkan
bahwa, Yang dimaksud dengan hak-hak asasi manusia ialah hak-hak dasar yang
dibawa sejak lahir, yang melekat pada esensinya sebagai anugerah Allah swt.
Miriam Budiardjo membatasi pengertian hak-hak asasi manusia sebagai “hak yang
dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran
atau kehadiarannya di dalam masyarakat”
Berbagai Piagam dan Deklarasi tentang hak-hak asasi manusia di Barat
antara lain:
- First Charter of Virginia tahun 1606 di Amerika
- Ordonance of Virginia tahun 1618 di Amerika
- May Flower Compact tahun 1620 di Amerika
- Habeas Corpus Act tahun 1679 di Inggris
- Bill of Rights tahun 1689 di Inggris
- Pensylvania Privileges tahun 1701 di Amerika
- Declaration of Independence tahun 1776 di Amerika
- Declaration de Droit de’l Homme et du Citoyen tahun 1789 di Perancis
- The Four Freedom of Franklin D. Roosevelt tahun 1941 di Amerika
- Universal Declaration of Human Right tahun 1948 oleh PBB
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul A’la Maududi, Hak-Hak Asasi Manusia dalam Islam, terjemahan
A. Nashir Budiman, Pustaka. Bandung.
1985
Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam, terjemahan Muhammad
Rasjidi. Bulan Bintang. Jakarta.
1980
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta. 1977
Roger Gaurady, Janji-Janji Islam, terjemahan Muhammad
Rasjidi, Bulan Bintang. Jakarta. 1957
Santiaji Pancasila, Laboratorium IKIP Malang
Ubaidillah, A. dkk, Pendidikan Kewargaan, Demokrasi, HAM dan
Masyarakat Madani, IAIN Jakarta Press, IAIN Hidayatullah, Jakarta. 2000
[1]
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta. 1977, hal. 120
[2]
Santiaji Pancasila, Laboratorium IKIP Malang:
264
[3]
Abdul A’la Maududi, Hak-Hak Asasi Manusia dalam Islam, terjemahan A.
Nashir Budiman, Pustaka. Bandung.
1985, hal. 16
[4]
Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam, terjemahan Muhammad Rasjidi.
Bulan Bintang. Jakarta.
1980, hal. 264
[5]
Roger Gaurady, Janji-Janji Islam, terjemahan Muhammad Rasjidi, Bulan Bintang. Jakarta. 1957, hal. 97
[6]
Ubaidillah, A. dkk, Pendidikan Kewargaan, Demokrasi, HAM dan Masyarakat
Madani, IAIN Jakarta Press, IAIN Hidayatullah, Jakarta. 2000, hal. 215-216
[7]
Miriam Budiardjo, Op-Cit, hal. 128
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !