BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang
merupakan konsep dasar mcngenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga
diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan
segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan
menyeluruh dengan segala hubungan.
Filsafat adalah induk pengetahuan, sebab derivasi segala
nalar pengetahuan berasal dari filsafat. dialektika fungsional dengan berbagai
pengetahuan lahir dari sebuah perjalanan panjang.antara dimensi kuriositas
manusia dengan potensi kealaman dan kemanusian. dari dialektika tersebut,
lahirlah berbagai peradaban manusia yang tidak terbatas dan tidak pernah
terpikirkan oleh founding father filsafat itu sendiri.
Ilmu mengkaji hal-hal yang bersifat empiris dan dapat
dibuktikan. Sedangkan, filsafat mencoba mencari jawaban terhadap
masalah-masalah yang tidak bisa dijawab oleh ilmu dan jawabannya bersifat
spekulatif.
Ini berarti, apa yang tidak bisa dijawab oleh ilmu, maka
filsafat berupaya mencari jawabannya, bahkan ilmu itu sendiri bisa dijadikan
objek kajian filsafat. Namun demikian, filsafat dan ilmu mempunyai
kesamaan dalam menghadapi objek kajiannya yakni berfikir reflektif dan
sistematis, meski dengan titik tekan pendekatan yang berbeda.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah sebenarnya hakikat hidup itu?
Pertanyaan ini dipelajari oleh Metafisika
2.
Apakah yang dapat saya ketahui?
Permasalahan ini dikupas oleh Epistemologi.
3.
Apakah manusia itu? Masalah ini dibahas
olen Atropologi Filsafat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Filsafat Kehidupan
Hidup adalah yang menunjukkan masih berada, bergerak, dan
bekerja sebagaimana mestinya.
Orang dapat dipengaruhi oleh dua pandangan hidup, yaitu:
1)
Mekanisme
Memandang segala
kejadian di dunia ini sebagai suatu atomatisme belaka, suatu kejadian yang
dengan sendirinya harus terjadi sebagai akibat dari suatu rentetan hukum
sebab-akibat (Cause-Effect).
Yang dimaksud
“sesuatu yang mekanis” menunjuk pada tiga arti:
a.
Sesuatu yang menunjuk pada teori mesin
b.
Sesuatu yang menunjuk pada fisio-kimiawi
c.
Sesuatu yang menunjuk pada proses kerja
kausalistik
2)
Vitalis
Menganngap adanya
hidup sebagai prinsip yang lepas dari segala kebendaan. Hidup itu dapat
bermanifestasi (menyatu) dalam benda yang mempunyai susunan tertentu, kemudian
benda itu kita sebut hidup. Kalau susunan benda itu rusak maka hidup tidak lagi
menyatu (bersemayam) di dalamnya, dengan kata lain makhluk tersebut dianggap
mati.
Henry Bergson
(1859-1941), seorang vitalisme yang terkemuka, berpendapat bahwa hidup itu
merupakan proses yang berarah tujuan , bergerak maju ke bentuk-bentuk hidup
yang semakin tinggi hingga sangat muskil. Perkembangan itu karena adanya
“hasrat hidup” (elan vital). Elan vital terus terus menerus
mendorong organisme hidup terus bergerak menyerap hidup. Sehingga terbentuk
bentuk-bentuk hidup yang baru (evolusi).
Makhluk
hidup
-
Tumbuh-tumbuhan, hanya dapat bertahan
hidup dari gangguan makhluk lain.
-
Hewan, tidak hanya dapat bertahan hidup,
tetapi juga dapat berlari dari kejaran musuhnya.
-
Manusia, tidak hanya sekedar bertahan dan
berlindung, tetapi bahkan dapat memikirkan mengapa musuhnya berbuat demikian
dan merencanakan strategi balasan.
Kehidupan adalah yang menunjukkan kondisi hidup seperti
kehidupan dunia, akhirat dan lain-lain.
Hidup
sekarang:
Hidup yang dulu: ketika kita merasakan seakan pernah datang
ke suatu tempat, padahal tempat itu baru pertama kali kita kunjungi atau bahkan
tempat tersebut baru dibangun, maka tempat itu diberitahukan pada alam hidup
yang dulu.
Hidup
yang nanti:
Dapat dirasakan oleh kita dan lebih-lebih penguasa yang
dzalim tindakannya akan diperhitungkan pada hidup yang akan datang, tempat di
mana semuanya harus dipertanggungjawabkan. Hal ini dalam kajian agama disebut
akhirat.
B.
Filsafat Perjuangan
Perjuangan dalam pandangan filsafat merupakan kemestian yang
tidak bisa ditawar-tawar. Sebab ia merupakan kelaziman dari keberadaan materi.
Oleh karenanya untuk lebih memahami kelaziman tersebut perlu kiranya kami
paparkan susunan keberadaan alam semesta.
Determinisme berarti kebebasan bertindak, karena ‘termin’
berarti batas sedangkan ‘de’ berarti tidak, jadi determinisme berarti tidak
terbatas dalam artian bebas berjuang. Kebebasan ini juga disebut Mukhaiyar atau
Takyir (hal-hal yang memerlukan ikhtiar dari tiap individu). Jadi dalam hidup
ini kita diberi kebebasan memilih akan merencanakan apa kini, akan mengerjakan
apa kita setelah ini dan lain-lain yang kompleks dan multi-dimensional,
sepanjang kita mampu mengerjakan dan bisa merencanakannya. Namun begitu, tidak
semuanya dapat dilakukan secara bebas sama sekali tanpa batasan.
Ada
dua kategori pilihan, yaitu baik dan buruk. Dalam al-Qur’an disebut dengan
istilah haq dan bathil. Untuk menentukan mana yang baik dan buruk inilah
diperlukan Wahyu dari Allah SWT, karena setiap pilihan akan
dipertanggungjawabkan dan diadili di Yaumil Akhir nanti sebagai perimbangan
dunia sekarang ini. Surga-Neraka pun dimaksudkan Allah sebagai ganjaran atas
segala perbuatan di dunia, dalam kata lain disebut dengan amal dan dosa.
Jean Paul Sartre, seseorang yang menganut paham
eksistensialisme mengatakan: “Man is nothing else but what he makes him self”
(Manusia tidak lain daripada bagaimana ia menjadikan dirinya sendiri). Dari
kata-kata tersebut jelas bahwa Sartre tidak percaya pada takdir, karena
perjuangan baginya harus dilaksanakan dengan gigih secara maksimal. Tapi Sartre
juga mengatahui bahwa manusia memiliki keterbatasan, sebagaimana dikatakannya
berikut ini: “I still believe that individual freedom is total, ontologically
speaking, but on the other hand I am more and more convinced that this freedom
is conditioned and limited by circumstances” (saya masih percaya bahwa
kebebasan individu adalah total, demikian dalam bangunan ontologism, di lain
pihak saya semakin menjadi yakin bahwa kebebasan ini ditentukan dan dibatasi
oleh berbagai keadaan).
Jarah menjarah bagi materi-materi yang tidak memiliki etika
merupakan suatu kewajaran dan tidak perlu pembahasan mendetail mengenainya.
Oleh karena itu, kita dengan segera mengatakan bahwa itu sudah merupakan
sunnah/kehendak Allah Swt. Akan tetapi bagi wujud manusia hal itu sangatlah
perlu kepada pembahasan. Sebab perjuangan dalam kacamata ini (filsafat) tidak
lagi mesti bermakna positif akhlaki. Oleh karena itu, perjuangan di sini
betul-betul bisa disalahgunakan.
Etika dan syariat serta akal yang sehat tidak dapat
membenarkan adanya penjarahan yang tidak teratur bagi manusia. Karena ia
merupakan keberadaan yang berbudaya dan beretika. Terlebih lagi ia merupakan
keberadaan yang berakal yang justru dengan itu semua manusia berbeda dengan
dari wujud-wujud lain. Apalagi ia merupakan makhluk yang diciptakan untuk
mengabdi (ibadah). Oleh karena itu, perjuangan yang akan ia lakukan haruslah
sesuai dengan etika, logika, dan syariat yang kesemuanya itu adalah hakikat
yang satu dalam tiga manifestasi.
Ketika manusia harus berjuang dalam mempertahankan dan/atau
memajukan hidupnya maka manusia harus berjuang selalu. Namun ketika pada diri
manusia ada dua macam potensi, yaitu potensi untuk menjadi baik dan menjadi
buruk, maka perjuangannya pun akan didasarkan pada dua potensi itu. Oleh karena
itu, perjuangan manusia memiliki dua macam : baik dan buruk.
Perjuangan baik adalah perjuangan yang mengikuti ajakan baik
yang ada dalam diri manusia. Perjuangan ini bukan hal yang mudah. Sebab,
seseorang harus betul-betul tahu bahwa ajakan dirinya dan perjuangannya adalah
kebaikan hakiki. Bukan sekadar dakwaan kebaikan. Untuk itu harus betul-betul
dicermati dengan segala macam barometer, yakni akal, etika, dan syariat. Tidak
dengan emosi nafsu dan pertimbangan keuntungan pribadi. Sebab, kesalahan yang
dibuat dengan dua hal itu menyebabkan manusia tidak akan mendapat maghfirah
Allah Swt.
Berpolitik, berekonomi, berbudaya, beritual, berumah tangga,
bermasyarakat, berorganisasi, dan lain-lain, kalau dilakukan sesuai dengan
logika, etika, dan syariat, maka akan menghasilkan kesempurnaan. Baik
kesempurnaan dunia maupun akhirat di mana surga adalah hasil terendahnya di
alam itu (akhirat). Sementara hasil tertingginya adalah tidak terbatas. Karena
maqam Qurb/dekat, ‘Indiyyah/di sisi Tuhan tidak akan ada batasnya. Sebab, kalau
terbatas, maka Tuhan pun menjadi terbatas.
Perjuangan buruk adalah perjuangan yang mengikuti ajakan
buruk yang ada dalam diri manusia, baik betul-betul berupa keburukan ataupun
berupa kebaikan yang bersifat semu dan tipuan, yakni kebaikan yang tidak
berdasar pada logika, etika, dan syariat. Namun berdasar perasaan, budaya
setempat, dan kefanatikan-negatif. Biasanya kebaikan macam ini sangat bersifat
untung-rugi atau tidak jarang bersifat pemaksaan kepada orang lain. Makanya
begitu terasa berat dan merugikan maka perjuangannya dihentikan. Dan kalau
berada di atas angin ia akan memaksa orang lain. Salah satu tanda dari
tanda-tanda perjuangannya adalah pandangan-pandangannya suka sekali berubah dan
tidak menentu. Semoga Tuhan menjaga kita dari ketidakpastian ini. Sebab tidak
menentu alias sering berubah merupakan ketidakcermatan prinsip-prinsipnya.
C.
Filsafat Takdir
Takdir adalah suatu rumusan baku dari Sang Pencipta yang ditetapkan
kepada tiap unit terkecil ciptaan-Nya. Takdir terlihat setelah manusia tidak
lagi mampu merencanakan, tidak lagi mampu mengerjakan, tidak lagi mampu
mengontrol, tidak lagi mampu memilih alternatif, jadi tidak lagi mampu berbuat
dan merubah sesuatu itu.
Takdir disebut juga undeterminisme, “un” berarti tidak,
begitu juga “de” berarti tidak, sedangkan “terminus” berarti terbatas. Jadi
undeterminisme adalah keterbatasan. Dengan demikian “terminus” yang berarti
batas, sehingga aliran ini sesukanya mengingkari adanya kehendak bebas.
Undeterminisme dibagi menjadi undeterminisme matrealistis dan undeterminisme
religious. Undeterminisme matrealistis adalah keterbatasan pada materi, yaitu
hukum alam. Seperti kita ketahui bahwa maut tidak pernah memilih umur tua atau
muda, dan kemampuan tubuh yang kuat atau lemah untuk mati duluan.
Undeterminisme religious adalah keterbatasan pada takdir,
yaitu kehendak Allah. Sebagai contoh dapat kita lihat, apakah seseorang itu
ditakdirkan menjadi penguasa atau masyarakat biasa.
Sampai sekarang untuk menentukan ukuran suatu benda kita
namakan dengan “kadar”, yaitu berasal dari kata “qadar” yang berarti ketentuan
untuk suatu benda mati maupun hidup yang sudah tidak dapat diubah lagi, karena
sudah menjadi ketetapan Allah SWT.
Oleh karena itu diperoleh rumus sebagai berikut:
Perjuangan + Takdir + Do’a = Nasib
Jadi yang tak dapat dirubah lagi adalah nasib. Namun nasib
itu merupakan hasil setelah seseorang berjuang secara maksimal dengan seluruh
upayanya, lalu memperhatikan takdir yang sudah ditetapkan, kemudian memohon
do’a dengan khusuk kepada Allah yang Maha Mendengar, yang tidak pernah berhenti
melihat, dan tidak pernah berhenti berkehendak, karena mudah bagi Allah untuk
membalikkan keadaan.
Konsep tentang takdir sangat beragam. Bertolak dari berpikir
analitis yang spontan, radikal, dan komprehensif, bisa diberikan penjabaran
ringkas dari sudut pandang Islam, Positivistik, dan Filsafat ”aku” dalam
tulisan ini.
Filsafat ’aku’ adalah derivasi konsep sufistik yang
berkembang selama lebih dari sebelas abad, khususnya sejak pemikiran Hasan
alBasri menjadi sebuah pilar penting dalam pemikiran tasawuf dan pemikiran saya
tentang konsep ”aku”, baik dalam bentuk karya tulis sajak, maupun pati kata
yang akan dijelaskan secara lugas dalam tulisan ini kaitannya dengan konsep
takdir manusia.
D.
Filsafat Do’a
Do’a adalah meminta sesuatu kepada Allah yang Maha Kuasa,
demikian dalam agama Islam. Begitu pula dalam agama Yahudi, Hindu, Budha,
Kristen Katolik, Kristen Protestan, Agama Shinto, bahkan Kong Fu Tse juga
mengajarkan do’a.
Mengapa
manusia harus berdo’a?
Karena Allah mengijinkan manusia merasakan penderitaannya,
lalu dengan berbelas kasih memohon kepada Allah, setelah merasakan kefakiran,
merasakan kebodohan, dan merasakan kelemahan masing-masing. Dalam al-Qur’an
tertulis:
“Berdo’alah
kepada Tuhanmu dengan merendahkan diri dan tidak mengeraskan suara,
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Q.S.
7: 55)
Tidak semua do’a akan terkabulkan, apalagi yang bersifat
menandingi. Contohnya, ketika seorang kandidat bupati berdo’a dan tidak menutup
kemungkinan lawan politiknya juga berdo’a. apakah kemudian kabupaten tersebut
akan dibagi sebanyak calon bupati karena do’a semua kandidat dikabulkan.
Mengabulkan do’a adalah hak Allah, maka berdo’alah dengan
segala kerendahan hati, ciptakan kegentaran dan ketakutan, sebaliknya jangan
munculkan rasa kedongkolan, keterpaksaan dan kecewa, karena Allah mengetahui
isi hati kita. Dengan demikian do’a bukan pemberitahuan kepada Allah, karena
Allah Maha Mengetahui, tetapi merupakan permohonan bantuan atas segala
kelemahan kita sebagai makhluk.
E.
Filsafat Kematian
Secara umum mati diartikan sebagai berpisahnya antara roh
dengan jasad. Tetapi dari kenyataan sehari-hari saja kita dapat berpendapat
bahwa mati adalah berhentinya fungsi keseluruhan organ tubuh.
Mati
dapat disebabkan banyak hal:
- Kerusakan salah satu organ tubuh, yang mengakibatkan gangguan keberadaan seluruh tubuh.
- Keberangkatan roh, untuk memulai suatu perjalanan panjang.
Filsafat tidak dapat mengatakan apa yang terjadi waktu itu,
kemungkinan bahwa di belakang pintu ada kekosongan mutlak menganga, tidak
terkecuali, tetapi tidak terkecuali pula kemungkinan bahwa saat kematian,
adalah saat kita sungguh-sungguh maninggalkan apa saja di dunia ini. (Franz
MAgnis, 1987)
Apakah maut itu berarti hanya kekosongan, atau sebaliknya
saat mata kita terbuka untuk keseluruhan, ini tidak dapat dipastikan oleh
manusia sendiri. Satu jawaban, atas pertanyaan itu hanya dapat diberikan oleh
Realitas Mutlak itu sendiri, dan itulah yang diungkapkan dalam keyakinan
beragama.
Pembicaraan mengenai kematian atau maut ini meliputi
pembicaraan tentang arti kematian, proses kematian, fungsi kematian dan makna
kematian itu sendiri. Berkaitan dengan hal itu Munandar Solaeman menyampaikan
pokok pikiran tentang mati sebagai berikut:
- Mati adalah berhentinya budi daya manusia secara total.
- Proses kematian manyangkut segi fisik dan segi rohani.
- Sikap manusia menghadapi kematian bermacam-macam.
- Kematian merupakan pengalaman akhir dari hidup seseorang.
- Kesimpulan, konsepsi, atau pengertian tentang kematian lebih banyak diperoleh dari sumber-sumber agama, seperti wahyu atau ajaran agama lainnya.
Selanjutnya Munandar Soelaeman mengatakan bahwa menurut B.S.
Mardiatmadja, makna di balik maut (kematian) itu adalah maut pelepasan, sebagai
awal hidup baru, dan hanya Tuhan yang merupakan penguasa atas hidup dan mati.
BAB III
PENUTUP
Setiap orang pasti menginginkan kemuliaan hidup entah
bagaimana cara untuk mendapatkannya. Kemuliaan seseorang tentunya memiliki
tolak ukur sangat relatif yang dihadapkan dengan keinginan seseorang. Bagi
orang yang memiliki tolak ukur yang tinggi tentu orang tersebut sangatlah
menginginkan perubahan positif dalam hidupnya. Perubahan positif tersebut
tentunya sangat beragam ada yang menginginkan jabatan yang lebih tinggi,
pangkat yang terhormat, kekayaan yang melimpah dan masih banyak lagi. Bagi
orang yang memiliki tolak ukur yang rendah tentunya merekalah sekelompok orang
yang tergolong “menerima apa adanya”. Segala yang diterimanya dirasa cukup dan
“sesuatu yang lebih” bukanlah inti dari tujuan mereka.
Hakikat hidup mewarnai hidup seseorang dan merupakan salah
satu motivator terhandal yang melandasi tindakan setiap manusia untuk mencapai
suatu kemuliaan. Terlepas dari agama dan hal-hal yang berkenaan dengan “
keakhiratan”, semua orang memiliki hakikat masing-masing yang merupakan
kesimpulan dari pengalaman-pengalaman hidup seseorang. Ada orang yang meyakini bahwa hidupnya adalah
untuk hobinya entah itu olahraga, seni, ataupun sampai berkaitan dengan hal
yang buruk seperti melakukan kejahatan. Adapula orang yang memiliki hakikat
bahwa dia adalah orang yang mampu mengubah kehidupan menjadi yang lebih baik
sehingga dia akan berusaha keras untuk meraihnya.
Hakikat setiap orang itu selalu berubah seiring dengan
tingkat kematangan seseorang. Hakikat hidup akan senantiasa berubah melandasi
setiap tindakan manusia. Bertahannya suatu hakikat hidup tentunya dilandasi
oleh banyak faktor yang sangat abstrak yang hanya diketahui oleh setiap
individu. Ada
yang mengatakan seperti “be your self!” tentunya hakikat kehidupan ini masih
dipertanyakan seberapa kuat bahwa dia mampu meyakini bahwa menjadi diri sendiri
adalah benar-benar hakikat dari hidupnya. Tentunya sangatlah beruntung bagi
seseorang yang mampu mempertahankan hakikat hidupnya, karena saya akan menjamin
bahwa orang tersebut adalah orang yang sangat nyaman menjalani hidupnya.
Berubah selalu ada batasnya hingga nanti akan mencapai suatu
titik dimana perubahan tersebut tidak akan dimungkinkan lagi. Begitu juga
dengan hakikat hidup, dengan tingkat kematangan yang sangat matang tentunya
orang tersebut seyakin-yakinnya akan menemukan sesuatu bahwa sesuatu itulah
yang merupakan hakikat hidup sejati. Mengapa saya mengatakan tingkat kematangan
yang sangat matang dan seyakin-yakinnya? Karena hakikat hidup sangat
membutuhkan proses dimana kematangan yang sangat matang itulah tujuan akhir
seseorang hidup yang dipegang hingga akhir hayatnya dan saya sangat yakin
dengan hal itu.
Bagaimana dengan orang yang selama hidupnya belum menemukan
hakikat hidupnya? Saya sangat yakin bahwa tidak ada orang yang tidak dapat
menemukan hakikat hidup. Di detik-detik terakhir hidup seseorang, pasti
seseorang akan terlintas tanpa disadari dan secara cepat akan menyadari hal
tersebut bahwa itulah hakikat hidup setiap manusia. Terlepas terlambat atau
tidak terlambat hanya orang tersebutlah yang mampu mengetahuinya. Namun bagi
saya, orang mengalami hal tersebut adalah orang yang tergolong sangat merugi
dan tidak dapat menikmati sebuah keindahan dalam hidupnya.
REFERENSI
Nasroen,
M., Falsafah Indonesia, Jakarta: Penerbit Bulan
Bintang, 1967.
Parmono,
R., Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia,
Yogyakarta: Andi Offset, 1985
Sunoto,
Menuju Filsafat Indonesia, Yogyakarta: Hanindita Offset1987
Hidayat,
Ferry., Sketsa Sejarah Filsafat Indonesia,
paper yang tidak diterbitkan, 2004.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !