KATA PENGANTAR
Dengan mengucap
syukur Alhamdulillah, bahwa penulis mencoba memcoretkan tinta hitam kedalam
secarik kertas. Selaku
penunulis menyadari masih banyak kesalahan dan belum dikatakan sempurna karena
keterbatasan kemampuan dalam merangkai kata, dan masih dalam tarap belajar yang
penuh dengan kemiskinan kata-kata. Oleh karena itu, saran dan kritik yang
bersifat membangun dari semua pihak, penulis harapkan agar dalam pembuatan
cerpen, artikel, jurna maupun cerbung bahkan novel di waktu yang akan datang
bisa lebih baik lagi.
Dalam hal ini, penulis banyak mendapat bantuan baik yang bersifat moril
maupun material dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala kerendahan hati
pada kesempatan ini izinkanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu. Terutama kedua orang tua yang telah memberikan
motovasi dan dorongan, khususnya buat dia yang ku saying.
Akhirnya penulis mengaharapkan semoga buku kecil yang sederhana ini
banyak memberi manfaat bagi pembaca. Amin…
Metro, 10 Mei 2013
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
PENGANTAR
DAFTAR ISI
SENJA DI DAM RAMAN
KEUTAMAAN MENULIS DAN MEMBACA
ADA CINTA DI KAMPUS HIJAU
SENJA
DI DAM RAMAN
“”Sebuah tulisan tertulis “Elha dan Uyung jelek” itulah
sebutan ku yang diberikan teman-teman ku di asrama. Tetapi hal inilah yang
menjadikan momen bagi ku bahwa aku harus bangkit dari keterpurukanku di masa
silam””
Akan selalu ada orang yang menangis,
tertawa,bahkan gelisah kala menikmati senja di taman ini. Dan
mereka tak butuh alasan untuk melakukannya,
menitikkan air mata ketika cahaya merah terlihat dari hamparan penuh
rerumputan, pohon-pohon, dan sebuah danau kecil di taman Kota Metro.
Waktu-waktu berjalan, malam, pagi, siang, sore, dan tentu saja, senja. Dari
kdua mata ku terpana saat aku melihat, dua anak kecil duduk bersandar di bangku
tepi danau, dengan pakaian yang paling kusut dan mata yang paling sendu,
menatap kosong pada titik cakrawala tempat terbenamnya matahari. Semua orang
tak ada yang mengenalmu, kedua anak itu tanpa nama yang tak pernah absen
menikmati jatuhnya matahari kemerah-merahan menuju pekat yang
menyambar-nyambar, yang tak henti-hentinya meneteskan air mata sambil
meminta-minta di antara kerikil dan rerumputan di keramaian taman.
Sebelum lebih dulu menemani kicau burung dan
kepak sayap kupu-kupu di hamparan bunga-bunga, terkadang sepasang anak itu
memetiknya, dan melemparkannya pada ikan-ikan yang mengiranya sebagai umpan
yang tak jemu mengelilingi danau kecil ditengah-tengah taman kota. Sempat
terbabayangkan seperti mereka, hidup bersama dengan bebas, menikmati
ketenangan, menjadi bagian keindahan di mata setiap orang.
Aku masih ingat ketika seseorang membawaku ke
taman untuk pertama kali, sebut saja namanya Elha. Jangan pernah lupakan
bagaimana perkenalan, pertemuan di satu titik rapuh. Ketika itu aku adalah
laki-laki yang tak ahli kata-kata yang selalu merangkai cerita tentang senja.
Sedangkan kualitas tulisanku berada tepat di garis kemiskinan sastra. Kita
bertemu dalam ruang maya, menjalin cerita yang hampir membosankan jika
dituliskan hanya didalam secarik kertas diari.
”Aku suka senja, apalagi jika melihat
burung-burung terbang ke arah barat, seakan-akan rumah mereka adalah senja.”
Cetus ku kepada Elha
”Tetapi, aku tidak begitu mengerti senja. Bagiku
tak ada sekat antara sore dan malam, antara sisa-sisa cahaya siang dan
datangnya potongan-potongan malam.” Elha membalas ucapan ku
”Apa kamu tidak pernah bermain di pantai ketika
sore hari? Ketika kamu lihat langit menggaris merah dan beberapa perahu
berlayar lurus hanya menyisakan layarnya yang berkibar. Seperti sangat dekat
dengan garis dunia itu. Seakan bersandar pada cahaya senja.”
”Tidak, aku hanya tahu pantai yang panas, dan
sore hari aku pulang untuk beristirahat.” Elha seperti enggan menjawab
pertanyaan itu
”Jadi, kamu tidak pernah melihat senja?”
”Aku bisa melihatnya dari foto-foto.” Tukas Elha
”Foto-foto tidak hidup, semuanya diam, seperti
dunia tanpa waktu.”
”Kalau begitu berikan aku video yang merekam
senja.”
”Tidak. Aku tidak punya. Aku saja jarang
menikmati senja yang utuh. Kadang setahun dua kali, kadang setahun sekali,
bahkan sering tidak sama sekali.”
”Lalu, di mana kamu bisa melihat senja yang
utuh?”
”Aku hanya melihatnya ketika pulang ke rumah
orangtuaku di desa Paku Negara Pesisir Barat. Di sana ada bukit luas yang jarak
pandangnya sampai ke pantai, dan ketika sore tidak akan ada yang menghalangi
pemandangan terbenamnya matahari, termasuk senja itu.”
Kemudian segalanya hening.
”Kalau begitu, aku akan membawamu ke suatu
tempat di kota ini yang bisa melihat senja setiap hari.” Sela ku
”Apa? Bukankah tadi kamu bilang tidak pernah
melihat senja?”
”Aku berbohong.”
Senja memang barang langka untuk dilihat secara
utuh di Kota Metro. Gedung-gedung bertingkat dengan lampu merkuri telah
mengalahkan sisa cahaya setelah tenggelamnya matahari. Belum lagi lampu kota
menyinari jalanan di mana mobil-mobil berkejaran dengan waktu. Orang-orang di
sini tak begitu peduli apakah matahari telah tenggelam atau bahkan terbit dari
arah tenggelamnya. Becerita tentang senja hanya lelucon di kantin dan taman
bermain. Tetapi, tidak bagi ku yang baru tinggal di kota ini. Sejak masuk ke
Sekolah Tinggi Agama Islam Ma’arif setahun yang lalu, ku seperti kehilangan
nyawa dalam tulisan-tulisanku.
”Ke mana kita pergi?”sahut Elha
”Ya seperti janjiku. Melihat senja.”
”Jangan bercanda, di kota seperti ini mana ada
tempat untuk melihat senja.”
”Kalau begitu biarkan aku bercanda, aku akan
membawamu ke daerah Dam Raman, sedikit terpencil, tetapi aku pernah sampai ke
sana sewaktu berkeliling kota. Dan aku sampai di tempat itu menjelang
terbenamnya matahari. Mungkin itu senja yang kamu maksud.”
Sepeda motor melaju kencang, jalanan semakin
sepi, hanya kompleks perumahan yang berdempetan. Setelah sekitar lima belas
menit perjalanan meninggalkan hiruk-pikuk kota, akhirnya sampai juga Dam Raman,
tepat menjelang sore, Aku sudah mengaturnya.
”Gila! Ini benar-benar senja!” Ku berteriak
kegirangan, menatap langit merah sedikit keemasan itu seolah tak berkedip,
sementara sekeliling hanya berupa rerumputan, pohon, bentangan padi menghijau
dan danau, ”Tetapi, mengapa sepi sekali? Apa tidak ada yang tertarik dengan
pemandangan senja?”
Di Dam Raman inilah sebuah tulisan tertulis
“Elha dan Uyung jelek” itulah sebutan ku yang diberikan teman-teman ku di
asrama. Tetapi hal inilah yang menjadikan momen bagi ku bahwa aku harus bangkit
dari keterpurukanku di masa silam.
”Setiap orang lelap dalam kesibukannya, tidak
ada waktu untuk datang dan melihat yang seperti ini.” Elha menjawab. Memang,
seperti tak ada kehidupan di Dam Raman kecuali sebuah rumah mungil di dekat
jalan raya tempatku memarkir sepeda motor, bisa jadi penghuni rumah itulah yang
merawat Dam Raman. Sepasang suami istri dan anaknya yang masih kecil. Mereka
tersenyum ketika kita melintasi pagarnya.
Suasana menjelang malam yang sempurna, tetapi
segala sesuatu yang terasa indah saat itu ternyata tidak berulang. Keesokan
harinya Elha mengajakku pergi ke tempat yang sama dan aku pun selalu memberikan
waktuku untuk mengantarmu melihat fase pergeseran matahari itu. Alangkah
terkejutnya kita melihat puluhan orang bertumpuk di Dam Raman tersebut.
”Mengapa tiba-tiba banyak orang?” tanyaku heran.
Aku menduga, gara-gara kita menikmati senja kemarin, pemilik rumah itu lalu
mengomersialkan taman Raman yang dirawatnya, tetapi aku tidak melihat loket
pembayaran di pintu masuk atau karcis parkir.
”Entahlah, padahal aku hanya memberitahu
beberapa sahabatku di kampus bahwa ada senja di daerah Dam Raman.”
Dugaanku meleset. Rupanya kabar ini menyebar
karena Elha, di antara puluhan orang itu aku memang sempat melihat beberapa
gelintir kawan-kawannya Elha, mereka bercakap-cakap, meninggalkanku untuk sementara.
”Bagus sekali ya! Ayo dipotret!”
”Direkam saja!”
Kebanyakan dari mereka hadir bersama kekasihnya,
tetapi ada juga yang membawa anak-anak kecil, membiarkannya berlarian di
jalanan penuh kerikil, mendekati danau, bermain air yang jernih dengan pantulan
cahaya senja.
”Padahal aku ingin menunjukkan senja ini spesial
hanya untuk rasa kangenku kpada kampug halaman.” Aku sedikit berbisik ketika
Elha sudah berada di dekatku.
”Aku juga tidak menyangka akan banyak orang
datang ke sini. Tetapi, setidaknya ini bukti bahwa mereka masih mau untuk
menikmati pemandangan senja. Ya, kan?”
Elha menatapku dengan tersenyum, wajah putihmu yang
teduh itu membuatku urung untuk kecewa. Walaupun sepertinya aku membaca gurat
kekecewaan di wajah yang murung.
”Kalau begitu aku ingin kamu melakukan sesuatu
untukku, sekali lagi. Sesuatu yang spesial, dan aku yakin tak seorang pun bisa
menirunya,” Elha berkata tiba-tiba.
”Apa itu?” jawab ku
”Menjadi senja.” Cetus Elha
Bagaimana caranya menjadi senja. Apakah harus
mengikuti burung-burung yang terbang ke arah terbenamnya matahari di titik
cakrawala sambil memakai baju merah keemasan? Bagaimana caranya? Kalau saja aku
bisa bertanya kepada penyair dan penulis cerita yang suka membawa obyek senja,
mungkin mereka tahu, mungkin mereka pernah beberapa kali menjadi senja sehingga
senja selalu hidup dalam tulisan mereka. Tetapi, itu tidak mungkin.
”Kamu yakin ingin aku menjadi senja?”
”Tentu, aku yakin kamu dapat melakukannya, dan
mereka di taman danau itu tak akan bisa menirunya.” Lanjut Elha
Aku tertegun, otakku berputar keras. Tidak
mungkin aku bertanya kepada kawan-kawan geniusku di kampus, pasti mereka semua
menertawakanku. Pertanyaan paling konyol yang kembali keluar dari mulut
seseorang yang sebenarnya tengah jatuh cinta pada taraf takut.
”Kalau berbuat untuk wanita yang realistislah,
jangan sampai gila begitu.” Begitu kata hatiku
”Lihat saja, aku pasti bisa memenuhinya. Lihat
saja.” Sempat terlintas di benekku
Pasti ada caranya, setidaknya, harus ada. Di
dunia ini ketidakmungkinan sudah hampir punah, segala sesuatu bisa dilakukan
walaupun hakikatnya semu dan jauh melenceng dari kenyataan. Dan benar, kan? Beberapa
jam menyendiri dalam kamar, akhirnya kulihat sesuatu yang berkilat itu, sesuatu
yang memantulkan cahaya putih dari sinar matahari yang tak terhalang gorden
jendela. Ya! Aku mendapatkannya, akhirnya aku mendapatkan cara untuk memenuhi
keinginanmu, keinginan yang tak seorang pun bisa menirunya.
”Besok aku adalah senja,” gumamku. Aku tersenyum
puas.
Angin sore menerpa deretan pohon cemara,
beberapa tempat masih tak berpenghuni, aku datang jauh lebih awal. Belum ada
siapa pun di taman Dam Raman. Hanya sepasang burung itu tengah memainkan
ekornya membentuk riak-riak kecil. Tetapi, ikan-ikan tak pernah takut dengan
keduanya. Mereka seperti bersimbiosis mutualisme, saling menyiratkan
kesempurnaan pemandangan Taman Dam Raman. Beberapa daun kering jatuh ke pangkuanmu,
sebagian jatuh ke rambutmu yang basah menjuntai melewati bahumu, terbalut kaus
hitam.
”Datanglah nanti ke taman Dam Raman, aku akan
menjadi senja.”kembali pesan singkat yang kukirimkan pagi tadi. Lalu tersenyum.
Elha pasti bangga denganku.
”Bagaimana caranya?”
”Datang saja, nikmati cahaya merah setelah
matahari terbenam, kamu harus yakin bahwa senja itu adalah aku.”
”Jadi, kamu tidak akan hadir menikmati senja
bersamaku?”
”Tentu tidak. Bukankah yang menjadi senja adalah
aku sendiri?”
”Bagaimana aku bisa tahu kalau itu kamu?”
”Aku akan membuat senja itu sedikit berbeda.”
Senja masih akan hadir sekitar satu jam lagi,
beberapa pasangan telah tiba dan mencari tempatnya masing-masing, semakin
banyak orang berdatangan, jauh lebih banyak dari sebelumnya, bahkan ada yang
membawa kanvas untuk melukis senja. Mereka antusias sekali menunggu. Seperti
menjadi tempat rekreasi dadakan, yang gratis. Dan tibalah saatnya, matahari
perlahan membenamkan tubuhnya di pelukan cakrawala.
Cahaya senja itu muncul, membentang merah lebih
pekat, tidak bercampur dengan warna kuning keemasan. Memenuhi garis langit.
Orang-orang berdecak kagum.
”Hei, lihat, warnanya agak berbeda dari kemarin.
Sepertinya lebih indah. Mungkin ini fenomena alam.”
”Cepat dipotret! Diabadikan!”
”Direkam saja sayangku. Mmmuach!”
sepasang muda-mudi berciuman di depan senja yang spesial kuhadirkan untukmu.
Sementara kulihat aku terdiam dengan pemandangan senja itu, mungkin sedang
membandingkannya dengan senja yang kemarin atau senja yang biasa ku lihat di
desa Paku Negara.
”Aku sudah melihat senja. Senja yang benar-benar
berbeda.” Ku mengirimkan pesan singkat untuk Elha. Senyumku mengambang, tidak
ada yang tahu bahwa senja itu adalah aku dan Elha.
”Bagaimana caranya? Beritahu aku. Biar besok
giliran aku yang menjadi senja untukmu.” Pesan singkat yang lain Elha kirimkan
lagi.
Orang-orang masih menatap dengan kagumnya,
mereka mengambil kamera dan memotret setiap sudut senja itu. Ada pula yang
benar-benar merekamnya, meminta pasangan bergaya di sepanjang taman yang
berlatar warna merah.
Senja itu semakin lengkap ketika burung-burung
menuju ke arahnya, pemandangan yang nyaris sempurna, puluhan kamera
mencipratkan cahaya, seperti suatu pertunjukan di atas panggung, orang-orang
tak henti-hentinya melontarkan kalimat kekaguman, semakin ramai saja, seolah
penduduk semuanya tumpah di Dam Raman,
hingga akhirnya beberapa dari mereka sadar, ada sekelompok burung hitam yang
tak seharusnya ada di situ. Ku melihat handphone, belum ada pesan
balasan dari Elha.
Muda-mudi menjerit, sebagian memeluk
pasangannya, sebagian lagi menutup matanya dan menangis, teriakan menggema ,
”Itu bukan senja! Itu darah!”
KEUTAMAAN
MEMBACA
DAN MENULIS
Menulis adalah tradisi yang (harus) dimiliki umat Islam. Tradisi
menulis ini berkaitan erat dengan tradisi membaca yang telah dititahkan Allah
SWT dalam surat al-’Alaq. Surat al-’Alaq ayat 1 sampai 5
sebagai wahyu pertama yang diturunkan Allah SWT berisi penegasan tentang
keutamaan membaca (iqra’) dan menulis (allama bi al-qalam).
Dengan tradisi membaca
dan menulis, umat Islam kuasa mencapai puncak peradabannya. Kedua tradisi
inilah yang terus membingkai setiap aktivitas ulama dan intelektual muslim
tempo dulu sehingga mampu mengikat ilmu dan menyebarluaskannya. Sebagaimana
bunyi ungkapan, “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya,” maka ulama-ulama
Islam zaman awal tidak pernah melepaskan hari-harinya tanpa menulis. Pentingnya
menulis ini telah menjadi perhatian generasi Islam awal.
Dalam salah satu
riwayat, Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash berkata, “Dulu aku menulis semua
perkara yang aku dengar dari Rasulullah SAW untuk aku hafalkan. Namun, orang-orang
Quraisy melarangku dan bertanya, “Kamu menulis semua yang kamu dengar dari
Rasulullah SAW. Beliau adalah manusia yang berbicara ketika senang dan ketika
marah?” Aku pun berhenti menulis. Lalu, aku menceritakannya kepada Rasulullah
SAW. Beliau memberi isyarat ke mulutnya dengan jarinya seraya bersabda,
“Tulislah! Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidak keluar dari mulutku
kecuali kebenaran.”
Seiring dengan masa penuh pembatasan
diera orde baru, dunia indonesia menggeliatkan “pesona baru yang di dapat dari
kebebasan menjelajahi tema-tema yang sebelmnya tidak terfikirka bisa
tereksplorasi. Ada kegairahan baru dikalangan pelajar dalam menyambut atmosfer
yang lebih melegakan tersebut diikuti dengan bombardir buku-buku dengan tema
yang lebih beragam dan berani, namun kegairahan tersebut belum seberapa menular
secara segnifikan eskipun seckepada perkembangan budaya menulis dan membaca.
meskipun secara sporadis tumbuh minat-minat baru pada dunia. Gairah menulis dan
membaca dewasa ini hanyalah semacam guntur yang diikuti hujan, sesaat yang
kemudian hilang tanpa bekas.
Sebenarnya kalau kita pahami banyak sekali keutamaan yang
terkandung dalam kekreatifan menulis dan membaca banyak sekali di jelaskan
dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadist. Kepandaian menulis dan membaca itu amat
dihargai, nabi muhammad saw berkata:
Diakhirat nannti tinta ulama-ulama itu akan di timbang dengan darah syuhad’
(oarang-orang yang mati syahid)
Dan dalam Al-Quran Allah SWT berfirman:
ù&tø%$# y7/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷èt
Artinya: Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia)
dengan perantaran kalam[1589], Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya.(Q.S. Al Alaq
3-5)
[1589] Maksudnya: Allah
mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca.
Dengan demikian,
perhatian Islam terhadap aktivitas menulis memang secara jelas dapat kita
saksikan dari contoh dan perbuatan nyata di atas. Melalui surat al-’Alaq
ayat 1 sampai 5, Allah SWT secara implisit mengatakan: membaca dan menulislah
wahai umat Islam, peradaban milik kalian! Pentingnya menulis juga ditegaskan
Allah SWT dalam surat al-Qalam ayat pertama, “Nun, demi kalam dan
apa yang mereka tuliskan.”
Dalam ayat pertama
surat Al-Qalam itu, Allah SWT bersumpah dengan dua hal, yakni kalam/pena dan
apa yang ditulis. Berdasarkan pengertian umum dari para ulama, sumpah Allah SWT
terhadap sesuatu berarti menandakan bahwa sesuatu itu memang penting. Tengku
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy menjelaskan bahwa ayat tersebut mendorong manusia
untuk belajar menulis yang memiliki kaitan dengan wahyu pertama pada surat al-’Alaq
yang mendorong manusia belajar membaca.
Dari zaman Islam awal,
kebiasaan menulis terus-menerus berlanjut dan menjadi tradisi. Johannes
Padersen mengatakan jarang ada kebudayaan lain dimana dunia tulis-menulis
memainkan peranan yang begitu penting seperti dalam peradaban Islam.
Aktivitas menulis
senantiasa dilakukan ulama dan intelektual muslim. Imam Syafi’i, misalnya,
memahami sisi penting dari aktivitas menulis. Entah ditulis sendiri atau
didiktekan ke muridnya, ada pelbagai karya tulis yang ditorehkan Imam Syafi’i.
Dikatakan Yaqut al-Hamawi, jumlah karya Imam Syafi’i mencapai 174 kitab. Ibnu
an-Nadim dalam al-Fahrasaat menyebutkan bahwa di antara judul-judul
kitab karya Imam Syafi’i adalah Ar-Risalah, As-Sunan al-Ma’tsuurah, Al-Fiqh
al-Akbar, Ikhtilaaf al-Hadits, Musnad, Ahkaam Al-Qur’an, dan Al-Umm.
Begitu juga Imam Ahmad
bin Hanbal yang produktif menulis. Imam Ahmad bin Hanbal menulis kitab di antaranya
Kitab al-’Ilal, At-Tafsiir, An-Naasikh wal-Mansuukh, Kitab az-Zuhd,
Al-Masaa’il, Kitab Fadhaa’il ash-Shahaabah, Kitab al-Faraa’idh, Al-Manaasik,
Kitab al-Imaan, Kitaab al-Asyribah, Tha’at ar-Rasuul, Kitab ar-Rad ‘alaa al-Jahmiyyah,
dan Musnad Ahmad. Dari sejumlah karyanya, kitab terakhir itulah
yang paling masyhur, sehingga membuat nama Imam Ahmad bin Hanbal berkibar di
jagat keilmuan Islam. Imam Bukhari yang kita kenal dengan Shahih al-Bukhari-nya
telah menerbitkan kitab pertamanya Qudhaya ash-Shahabah wat Tabi’in (Peristiwa-peristiwa
Hukum di Zaman Shahabat dan Tabi’in) pada usia 18 tahun. Konon ketika menginjak
usia 22 tahun, beliau menulis kitab At-Tarikh di atas makam Rasulullah
SAW. Selain itu, puluhan kitab lainnya telah dihasilkan Imam Bukhari.
Aktivitas menulis juga
diperlihatkan Muhammad bin Jarir ath-Thabari (wafat 310 Hijriyah). Konon setiap
hari beliau mampu menulis sebanyak 40 lembar. Karya-karya tulisnya antara lain Jami
al-Bayan fi Tafsir Al-Quran, Kitab al-Qira’at wa Tanzil Al-Quran, Tahzib
al-Atsar wa Tafdil as-Sabit, Ikhtilaf al-Ulama al-Amsar fi Ahkam Syara’
al-Islam, dan al-Basir fi Ma’alim ad-Din.
Ibnu Katsir pun
produktif menulis. Karyanya tidak hanya Tafsir Al-Quran al-Karim yang
termasyhur dengan sebutan Tafsir Ibnu Katsir, tapi memiliki banyak
karya lainnya. Beliau menghasilkan beberapa kitab ilmu hadits, seperti Jami’
al-Masanid wa as-Sunan, al-Kutub as-Sittah, al-Mukhtasar, dan Adillah at-Tanbih
li ‘Ulum al-Hadits yang lebih dikenal dengan nama al-Baits al-Hadits.
Jami’ al-Masanid wa as-Sunan sejumlah delapan jilid yang berisi nama-nama
sahabat periwayat hadits. Ia juga menulis Fadha?il Al-Quran yang
berisi ringkasan sejarah Al-Quran. Kitab Ibnu Katsir terkait bidang sejarah
adalah al-Bidayah wa an-Nihayah (sebanyak 14 jilid), al-Fushul fi
Sirah ar-Rasul, dan Thabaqat asy-Syafiiyyah.
Ulama yang juga
produktif menulis adalah Ibnu Taimiyah. Karya tulisnya mencakup bidang akidah,
fikih, tafsir, hadits, tasawuf, filsafat hingga politik. Menurut Muhammad Farid
Wajdi, editor Daa’irah al-Ma’aarif al-Islamiyyah, karya Ibnu Taimiyah
mencapai 500 judul. Karya tulis Ibnu Taimiyah diantaranya adalah al-Jawaab
ash-Shahiih li man Baddala ad-Diin Al-Masih (Jawaban yang Benar Terhadap
Orang yang Mengganti Agama Al-Masih), Majmuu’ al-Fataawaa (Kumpulan
Fatwa), dan Kitaab Ar-Radd ‘alaa al-Manthiqiyyiin (Jawaban terhadap
Para Ahli Mantik). Ibnu Taimiyah berdakwah melalui tulisan juga dengan menulis
surat, seperti al-Hamawiyah (surat yang ditulis untuk penduduk Hamah),
al-Wasithiah (surat yang dikirim untuk penduduk Wasith), dan at-Tadammuriah
(surat yang diperuntukkan bagi penduduk Tadammur). Ada juga kitab Dar
Ta’arudh al-’Aql wa an-Naql yang ditulis beliau.
Beberapa nama yang
diterangkan di atas hanya sebagian kecil dari banyaknya ulama dan intelektual
muslim yang menulis. Selain mereka, ada Imam Malik, Imam Suyuthi, Hasan
al-Banna, Sayyid Quthb, dan masih banyak lagi. Di Indonesia, Buya Hamka bisa
disebut sebagai salah satu ulama yang begitu melimpah karya tulisnya. Karya
sastra yang ditulis Buya Hamka seperti Merantau ke Deli, Di Bawah
Lindungan Ka’bah, dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Adapun
karya lainnya adalah Falsafah Hidup, Lembaga Hidup, Lembaga Budi, Sejarah
Umat Islam, dan sebagainya. KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama
(NU), juga memiliki karya tulis, seperti Adab al-Alim wa al-Muta-alim,
An-Nur Al-Mubin, ar-Risalah al-Jamiah, at-Tibyan Fin Nahyi An
Muqotaat al-Ikhwan, ar-Risalah at-Tauhidiyah at-Tanbihat
al-Wajibat, dan sebagainya. Muhammad Natsir juga menghasilkan puluhan
karya tulis, seperti Capita Selekta I dan II (1955), Di Bawah
Naungan Risalah (1971), Fiqh ad-Dakwah (1981), Dunia Islam
dari Masa ke Masa (1982), dan beberapa lainnya.
Dari uraian di atas,
kita menyadari bahwa menulis merupakan tradisi yang melekat dalam Islam.
Menulis tidak lagi menjadi pilihan, tetapi suatu keniscayaan yang perlu
dilakukan. Dwi Budiyanto (2009) menyebut aktivitas menulis sebagai salah satu
kebiasaan muslim pembelajar.
Tradisi menulis dalam
Islam memiliki beragam tujuan. Pertama, menulis untuk mengikat ilmu. Setiap
ilmu yang didapatkan akan terekam kuat jika dituliskan. Ilmu adalah sesuatu
yang berharga sehingga perlu menjaganya dengan menuliskannya. Siapa pun perlu
menulis untuk mengikat ilmu. Kedua, menyampaikan ilmu. Ilmu yang didapatkan
tentu perlu disebarluaskan untuk kemaslahatan bersama. Tidak hanya belajar,
tapi juga mengajarkan ilmu dengan menyebarluaskannya lewat tulisan. Ketiga,
menyeru kepada kebaikan (amar ma’ruf). Menulis untuk mengajak manusia
menuju pada kebaikan. Keempat, mencegah kemungkaran (nahi munkar).
Tulisan-tulisan yang dihasilkan berawal dari kegelisahan untuk menentang
kezaliman dan berkata tidak pada setiap kemungkaran. Kelima, meneguhkan
keimanan manusia. Menulis untuk mengarahkan kehidupan pada kesadaran ketuhanan.
Ulama-ulama Islam zaman dahulu menulis untuk tujuan tersebut. Di luar tujuan
lain, itulah motif yang hendaknya membangun motivasi kita dalam menulis. Ketika
kita membuat tulisan dengan niat dan tujuan yang benar, kita akan mendapatkan
nilai lebih dan akan menjadi amal jariyah kita, insya Allah.
Bagi kita, menulis tak
sekadar perang opini. Menulis juga ikhtiar mengikat dan mewariskan ilmu. Kita
akan tetap menulis, karena menulis adalah tugas agama. Jika kita menulis untuk
keabadian, tak ada yang abadi kecuali Allah SWT. Dan, ingin rasanya berseru, “Wahai
umat Islam, dari barat sampai timur, dari utara sampai selatan. Teruntuk umat
Islam yang lurus, hanya teruntuk umat Islam yang lurus: angkatlah pena!”
Wallahu a’lam. (Sumber: Dakwah UNY).
Betapa senang dan bahagia jika orang tua melihat anak-anaknya
tumbuh dan berkembang. Memang kebahagian akan terasa lengkap jika oarang yang kita
didik berkembang bukan hanya sekedar fisik , akan tetapi potensi pola
fikirnya. Akan kah kita tidak
mempedulikan diri kita sendiri untuk mengembangkan potensi yang ada pada diri
kita? Akan kah kita biarkan generasi berikutnya acuh tak acuh kepada buku dan
aktivitas membaca serta aktivitas lainnya yang berkaitan dengan menulis dan
membaca,
Oleh karena
itu kepada sahabat-sahabat mahasiswa STAI Ma’arif Metro Lampung mari kita
tuangkan bakat menulis kita lewat media buletin, jurnal, artikel, cerpen maupun
yang lainnya.Dengan mengharapkan ridho Allah SWT, semoga kita semua termasuk
orang-orang yang di gambarkan dalam hadis Nabi Muhammad SAW.
Refrensi:
Yayasan Pener Jemah
Alquranul Karim
Departemen Republik
Indonesia
ADA CINTA
DI KAMPUS HIJAU
Pada suatu hari dengan cuaca
yang buruk Doyok berlari ditengah guyuran hujan. Ia itu tidak memperdulikan
tetesan air hujan yang mengenai wajah dan tubuhnya. Yang dia pikirkan sekarang
adalah bagaimana ia bisa cepat sampai di kampusnya, dan ia bisa bertemu dengan
wanita pujaannya.
Doyok membatin “
hujan seperti ini tidak akan menghalangi niatku untuk bertemu wanita pujaanku
dan hari ini juga akan kuledakkan perasaan ini di hadapannya.”
Sesampainya di
kampus, Doyok mencoba mencari wanita tersebut. lalu, Doyok melihat wanita itu
di depan kelas, sedang ngobrol dengan sahabatnya.
Entah kenapa, Doyok
seperti terpaku melihat wanita itu. Dan secara tidak sadar ia berkata “masya
Allah, Subhanallah,mampukah aku mengatakan tentang perasaan ini? Di depan dia
lidahku selalu kaku.”
Pada saat itu juga
Rossya memandang pada Doyok, “mas, hujan-hujanan nih yee!”
“ah nggak kok, Cuma
lagi masa kecil kurang bahagia neh.” Jawab Doyok.
“ha ha ha ha ha ha,
mamas neh, selalu bisa bikin aku ketawa ..” jawab Rossya.
Lalu Doyok berkata
“Ros, ada waktu gak, pengen bicara sebentar neh. Kalo kamu gak keberatan seh?”
Rossya mengangguk dan berkata “mau ngomong apa mas ? serius amat seh.”
Rossya mengangguk dan berkata “mau ngomong apa mas ? serius amat seh.”
“ada deh, ntar kamu
pasti tau kok. Yang pasti, penting banget neh.”
Lalu Doyok mengajak
Rossya untuk duduk di depan parkiran sepeda motor yang ada di kampus mereka.
Tapi entah kenapa, Doyok malah diam. Lidahnya benar-benar beku. Wajahnya sekarang basah oleh keringat dingin.
Tapi entah kenapa, Doyok malah diam. Lidahnya benar-benar beku. Wajahnya sekarang basah oleh keringat dingin.
“ jangan pernah
takut untuk mengatakan perasaanmu, berjuanglah. Kebahagiaan bukan terletak pada
hasil yang akan kau dapat tetapi terletak pada saat kamu mengatakannya”
terniang nasehat Fadil sahabatnya yanga agak konyol itu.
“jangan terlalu
banyak berpikir. Apabila kamu memang serius dengan dia, just do it. Nikahi dia,
jadikan dia halal bagimu. Bener tuh kata Fadil, jangan mikirin hasil, yang
penting hati kamu plong.” Eri menambahkan.
Tiba-tiba, “kak, kok
diam seh ? katanya tadi mau ngomong.” Rossya memecahkan kesunyian yang terjadi
di antara mereka.
“eh, gak papa kok.
Duh, tiba-tiba jadi gugup neh.” Jawab Doyok.
Rossya bingung
dengan jawaban Doyok dan wajahnya sekarang penuh dengan kebingungan dan
keheranan.
Berusaha menekan rasa kegugupannya yang ada di dalam dadanya Doyok membatin “harus sekarang, selagi ada kesempatan ngomong. Aku harus berani. Dan tidak perduli dengan hasilnya yang penting hatiku akan terbebas dari persaan yang menyiksa ini.” Dan Doyok berkata “sebelumnya aku minta maaf padamu. gini dek, kita sudah kenal hampir 6 bulan. Selama ini, aku merasakan hal aneh pada hatiku dan aku merasa sangat tersiksa karenanya. Sekarang, ingin kuledakkan perasaan ini dan membebaskan hatiku dari perasaan ini. Rossya, selama ini, di dalam dada ini tumbuh rasa aneh tentang dirimu. Aku mulai mengenal dirimu dengan perasaan suka, dan setelah mengenalmu lebih jauh, perasaan suka ini tumbuh menjadi perasaan saying, Hatiku secara tulus mengakui bahwa aku benar menyayangimu.”
Berusaha menekan rasa kegugupannya yang ada di dalam dadanya Doyok membatin “harus sekarang, selagi ada kesempatan ngomong. Aku harus berani. Dan tidak perduli dengan hasilnya yang penting hatiku akan terbebas dari persaan yang menyiksa ini.” Dan Doyok berkata “sebelumnya aku minta maaf padamu. gini dek, kita sudah kenal hampir 6 bulan. Selama ini, aku merasakan hal aneh pada hatiku dan aku merasa sangat tersiksa karenanya. Sekarang, ingin kuledakkan perasaan ini dan membebaskan hatiku dari perasaan ini. Rossya, selama ini, di dalam dada ini tumbuh rasa aneh tentang dirimu. Aku mulai mengenal dirimu dengan perasaan suka, dan setelah mengenalmu lebih jauh, perasaan suka ini tumbuh menjadi perasaan saying, Hatiku secara tulus mengakui bahwa aku benar menyayangimu.”
Selesai mengatakan,
Doyok hanya bisa menundukkan wajahnya dan mulai berdoa. Dia tidak berani
menatap wajah Rossya, wajah yang selama ini menghantui setiap detik
kehidupannya.
Rossya benar-benar
kaget dengan perkataan Doyok. Dia benar-benar tidak tau harus berkata apa. Tapi
dalam hati kecilnya, sebenarnya dia juga ada sedikit perasaan suka pada Doyok.
Pada kakak angkatannya yang selama ini jadi teman curhatnya. Tapi hatinya
bingung, karena Rossya bukanlah tipe wanita yang ingin berpacaran.
“itukah yang mas
rasakan terhadap Rossya?” tanya Rossya.
“iya dek, aku
benar-benar menyayangimu dengan hatiku. Bahkan aku siap melamarmu apabila aku
sudah munaqasyah. Aku ingin kamu menjadi pendampingku pada saat wisuda kelak.”
Jawab Doyok.
Mendengar perkataan itu, hati , Rossya jadi berbunga-bunga, senyum yang indah mulai mengembang seperti sekuntum bunga yang mekar di pagi hari.
Mendengar perkataan itu, hati , Rossya jadi berbunga-bunga, senyum yang indah mulai mengembang seperti sekuntum bunga yang mekar di pagi hari.
Rossya berkata “kak,
maaf Rossya gak bisa menerima kakak sebagai pacar Rossya, karena Rossya anti
dengan pacaran kak.”
Mendengar jawaban
Rossya, Doyok hanya tertunduk dan diam. Dia merasa inilah akhir dari kisah
cintanya.
Namun Rossya menambahkan “tapi Rossya menerima kakak sebagai calon suami Rossya. Dan jangan lupa dengan janji kakak, setelah maju munaqasyah, kakak harus segera melamar, sehingga Rossya bisa menjadi pendamping kakak sewaktu wisuda nanti.”
Namun Rossya menambahkan “tapi Rossya menerima kakak sebagai calon suami Rossya. Dan jangan lupa dengan janji kakak, setelah maju munaqasyah, kakak harus segera melamar, sehingga Rossya bisa menjadi pendamping kakak sewaktu wisuda nanti.”
Tidak percaya dengan
jawaban Rossya, Doyok mendongakkan kepalanya dan berkata “benarkah itu Rossya?”
Rossya pun mengangguk. “iya.” jawab Rossya.
Rossya pun mengangguk. “iya.” jawab Rossya.
Jawaban Rossya
membuat perasaan Doyok melayang. Saat ini dia seperti memiliki sayap dan
terbang ke langit. Menggapai langit biru dengan tangannya.
Doyok tersenyum dengan
senyum penuh kebahagiaan. Dan berkata “setelah skripsiku selesai, tunggulah aku
dirumahmu Rossya. Aku akan datang bersama ayah dan ibuku, untuk menjadikanmu
kekasih halalku. Terima kash Rossya. Cinta ini kuharap mampu membuat kita
menjadi hamba Allah yang mencapai kebahagiaan secara sempurna, dunia dan
akhirat.” Rossya pun mengangguk.
Doyok pun berlari
kencang ke arah sahabat-sahabatnya di kelas, dan di sana dia berteriak “aku
sudah mendapatkan kekasih halalku, kekasih yang akan menemaniku di dunia dan di
akhirat kelak!”
Sahabat-sahabatnya pun tersenyum dan berteriak
Sahabat-sahabatnya pun tersenyum dan berteriak
“AMIIIIN !!!!!!!!!!”
Pada saat itulah
Doyok merasakan begitu banyak anugerah Allah dalam dunia ini. Salah satu
anugerah Allah yang selalu bisa membuat dua hal yang berbeda menjadi satu adalah
cinta. Tanpa cinta, dunia akan terasa hambar dan membosankan. Namun dengan
cinta, dunia akan berwarna-warni seperti pelangi. Sama seperti yang dirasakan
oleh Doyok sekarang ini.
TENTANG
PENULIS
Muhlisin
adalah orang yang mudah untuk bergalu dimapun ia bergaul, ia dilahirkan di paku
Negara, 09 September 1988, anak dari pasangan orang tua yang berbeda suku
ayahnya berasal dari Jawa Timur-Banyuwangi sedangkan ibunya berasal dari
Pesisir Barat-Paku Negara. Muhlisin adalah anak pertama dari lima saudara, pada
masa mudanya sejak ia menamatka sekolah di jenjang pendidikan sekolah dasar SDN
04 Paku Negara pada tahun 2002. Setelah itu ia melanjutkan jenjang
pendidikannya di MTs NU 01 Biha Pesisr Barat tamat pada tahun 2005.setelah
menamatkan di MTs NU ia langsung melanjutkan di man 01 krui, mengambil jurusan
Bahasa pesisir barat tamat tahun 2008. Hingga akhirnya ia melanjutkan
keperguruan tinggi pada tahun 2010 di STAI Maarif Metro Lampung, selain sebagai
mahasiswa yang aktif kuliah beliau juga aktif di organisasi baik intra maupun
ekstra. Di organisasi intra beliau menjabat sebagai Wakil Sekertaris DEMA ST, dan di exstranya beliau menjabat sebagai
Ketua Rayon PMII hingga saat ini.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !