BAB I
PEMBAHASAN
Berkembangnya Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia berbarengan
dengan berkembangnya Islam di Indonesia yang dibawa oleh para wali. Di pulau
Jawa, peranan Walisongo sangat berpengaruh dalam memantapkan eksistensi
Ahlussunnah wal Jama’ah. Namun, Ahlussunnah wal Jama’ah yang dikembangkan
Walisongo masih dalam bentuk ajaran-ajaran yang sifatnya tidak dilembagakan
dalam suatu wadah organisasi mengingat ketika itu belum berkembang organisasi.
Menurut Syaikh Abdul Qodir al-Jilani “Yang dimaksud dengan
al-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasûlullâh SAW (meliputi ucapan,
perilaku serta ketetapan beliau). Sedangkan pengertian al-Jamâ‘ah adalah segala
sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para sahabat Nabi Muhammad SAW pada masa
al-Khulafâ’ al-Râsyidûn yang empat yang telah diberi hidayah (mudah-mudahan
Allah SWT memberi rahmat pada mereka semua)”.(Al-Ghunyah li Thâlibî Tharîq
al-Haqq, Juz I, hal 80)
Pelembagaan ajaran Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia dengan
karakter yang khas terjadi setelah didirikannya Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun
1926. NU adalah sebagai satu-satunya organisasi keagamaan yang secara formal
dan normatif menempatkan Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai paham keagamaan yang
dianutnya.
KH. M. Hasyim Asy’ari sebagai salah seorang pendiri NU, telah
merumuskan konsep Ahlussunnah wal Jama’ah dalam kitab al-Qânûn al-Asâsiy li
Jami’yyah Nahdlah al-‘Ulamâ’. Al-Qânûn al-Asâsiy berisi dua bagian pokok, yaitu
:
(1)
risalah Ahlussunnah wal Jama’ah, yang
memuat tentang kategorisasi sunnah dan bid’ah dan penyebarannya di pulau Jawa,
dan
(2)
keharusan mengikuti mazhab empat, karena
hidup bermazahab itu lebih dapat menyatukan kebenaran, lebih dekat untuk
merenungkan, lebih mengarah pada ketelitian, dan lebih mudah dijangkau. Inilah
yang dilakukan oleh salafunâ al-shâlih (generasi terdahulu yang salih).
Mengenai istilah Ahlussunnah wal Jama’ah, KH. M. Hasyim
Asy’ari dengan mengutip Abu al-Baqa’ dalam bukunya, al-Kulliyyât,
mengartikannya secara bahasa sebagai jalan, meskipun jalan itu tidak disukai.
Menurut syara’, ‘sunnah’ adalah sebutan bagi jalan yang disukai dan dijalani
dalam agama sebagaimana dipraktekkan oleh Rasulullah Saw. atau tokoh agama
lainnya, seperti para sahabat. Sebagaimana dikatakan Syeikh Zaruq dalam kitab
‘Uddah al-Murîd, menurut syara’, ‘bid’ah’ adalah munculnya perkara baru dalam
agama yang kemudian mirip bagian agama, padahal bukan bagian darinya, baik
formal maupun hakekatnya.
Yang menarik dalam Qânûn Asâsiy adalah bahwa KH. M. Hasyim
Asy’ari melakukan serangan keras kepada Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad
Ibn ‘Abd al-Wahhab, Ibn Taimiyah, dan dua muridnya Ibn al-Qayyim dan Ibn ‘Abd
al-Hadi yang telah mengharamkan praktek yang telah disepakati umat Islam
sebagai bentuk kebaikan seperti ziarah ke makam Rasulullah. Dengan mengutip
pendapat Syeikh Muhammad Bakhit al-Hanafi al-Muti’i dalam risalahnya Tathîr
al-Fu’âd min Danas al-’Itiqâd, KH. M. Hasyim Asy’ari menganggap kelompok ini
telah menjadi fitnah bagi kaum muslimin, baik salaf maupun khalaf. Mereka
merupakan aib dan sumber perpecahan bagi kaum muslimin yang mesti segera
dihambat agar tidak menjalar ke mana-mana.
Dalam perkembangan selanjutnya, konsep Ahlussunnah wal Jama’ah tersebut mengalami proses pergulatan dan penafsiran yang intensif di kalangan warga NU.
Dalam perkembangan selanjutnya, konsep Ahlussunnah wal Jama’ah tersebut mengalami proses pergulatan dan penafsiran yang intensif di kalangan warga NU.
Sejak ditahbiskan sebagai paham keagamaan warga NU,
Ahlussunnah wal Jama’ah mengalami kontekstualisasi yang beragam. Meskipun
demikian, kontekstualisasi Ahlussunnah wal Jama’ah, tidak menghilangkan makna
dasarnya sebagai paham atau ajaran Islam yang pernah diajarkan dan diamalkan
oleh Rasulullah Saw. bersama para sahabatnya.
Titik tolak dari paham Ahlussunnah wal Jama’ah terletak pada
prinsip dasar ajaran Islam yang bersumber kepada Rasulullah dan para
sahabatnya. Ada
beberapa tokoh-tokoh NU yang menafsirkan paham Ahlussunnah wal Jama’ah, di
antaranya adalah KH. Bisri Mustofa, KH. Achmad Siddiq, KH. Saefuddin Zuhri, KH.
Dawam Anwar, KH. Said Aqil Siradj, KH. Sahal Mahfuzh, KH. Wahid Zaini, KH.
Muchith Muzadi, dan KH. Tolchah Hasan.
Oleh para ulama NU, Ahlussunnah wal Jama’ah dimaknai dalam
dua pengertian. Pertama, Ahlussunah Wal Jama’ah sudah ada sejak zaman sahabat
nabi dan tabi’in yang biasanya disebut generasi salaf. Pendapat ini didasarkan
pada pengertian Ahlussunah Wal Jama’ah, yakni mereka yang selalu mengikuti sunnah
Nabi Saw. dan para sahabatnya.
Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa Ahlussunah Wal Jama’ah
adalah paham keagamaan yang baru ada setelah munculnya rumusan teologi Asy’ari
dan Maturidi dalam bidang teologi, rumusan fiqhiyyah mazhab empat dalam bidang
fikih serta rumusan tashawuf Junayd al-Bagdadi dalam bidang tashawuf .
Pengertian pertama sejalan dengan sabda Nabi Saw.: “Hendaklah
kamu sekalian berpegang teguh kepada sunnah Nabi dan sunnah al-khulafâ
al-râsyidin yang mendapat petunjuk” (HR. at-Tirmidzi dan al-Hakim). Dalam
hadits tersebut, yang dimaksud bukan sahabat yang tergolong al-khulafâ’
al-râsyidûn saja, tetapi juga sahabat-sahabat lain, yang memiliki kedudukan
yang penting dalam pengamalan dan penyebaran Islam.
Nabi Saw. bersabda: “Sahabat-sahabatku seperti bintang (di
atas langit) kepada siapa saja di antara kamu mengikutinya, maka kamu telah
mendapat petunjuk”. (HR. al-Baihaqi). Sesudah genersi tersebut, yang meneruskan
ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah adalah para tabi’in (pengikut sahabat), sesudah
itu dilanjutkan oleh tabi’it-tabi’in (generasi sesudah tabi’in) dan demikian
seterusnya yang kemudian dikenal sebagai penerus Nabi, yaitu ulama.
Nabi Saw. bersabda: “Ulama adalah penerang-penerang dunia,
pemimimpin-pemimpin di bumi, dan pewarisku dan pewaris nabi-nabi” (HR. Ibn
‘Ady). Itu sebabnya, paham Ahlussunnah wal jama’ah, sesungguhnya adalah ajaran
Islam yang diajarkan oleh Rasulullah, sahabat, tabi’in, dan generasi
berikutnya. Pengertian ini didukung oleh KH. Achmad Siddiq yang mengatakan
bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah pengikut dari garis perjalanan Rasulullah
Saw. dan para pengikutnya sebagai hasil permufakatan golongan terbesar umat
Islam. Pengertian ini dipertegas lagi oleh KH. Saefudin Zuhri yang mengatakan
bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah segolongan pengikut sunnah Rasulullah Saw.
yang di dalam melaksanakan ajaran-ajarannya berjalan di atas garis yang
dipraktekkan oleh jama’ah (sahabat Nabi). Atau dengan kata lain, golongan yang
menyatukan dirinya dengan para sahabat di dalam mempraktekkan ajaran-ajaran
Nabi Muhammad Saw., yang meliputi akidah, fikih, akhlaq, dan jihad.
Namun demikian, dalam perkembangan selanjutnya, makna
Ahlussunnah wal Jama’ah di lingkungan NU lebih menyempit lagi, yakni kelompok
atau orang-orang yang mengikuti para imam mazhab, seperti Maliki, Hanafi,
Syafi’i, dan Hanbali dalam bidang fikih; mengikuti Abu al-Hasan al-Asy’ari dan
Abu Mansur al-Maturidi dalam bidang tauhid, dan Junaid al-Bagdadi dan al-Ghazali
dalam bidang tashawuf.
Pengertian ini dimaksudkan untuk melestarikan,
mempertahankan, mengamalkan dan mengembangkan paham Ahlussunnah wal Jama’ah.
Hal ini bukan berarti NU menyalahkan mazhab-mazhab mu’tabar lainnya, melainkan
NU berpendirian bahwa dengan mengikuti mazhab yang jelas metode dan produknya,
warga NU akan lebih terjamin berada di jalan yang lurus. Menurut NU, sistem
bermazahab adalah sistem yang terbaik untuk melestarikan, mempertahankan,
mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam, supaya tetap tergolong Ahlussunnah
wal Jama’ah.
Di luar dua pengertian di atas, KH. Said Agil Siradj
memberikan pengertian lain. Menurutnya, Ahlussunnah wal Jama’ah adalah
orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek
kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan
toleransi. Baginya, Ahlussunnah wal Jama’ah harus diletakkan secara
proporsional, yakni Ahlussunnah wal Jama’ah bukan sebagai mazhab, melainkan
hanyalah sebuah manhaj al-fikr (cara berpikir tertentu) yang digariskan oleh
sahabat dan para muridnya, yaitu generasi tabi’in yang memiliki intelektualitas
tinggi dan relatif netral dalam menyikapi situasi politik ketika itu. Meskipun
demikian, hal itu bukan berarti bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai manhaj
al-fikr adalah produk yang bebas dari realitas sosio-kultural dan sosio-politik
yang melingkupinya.
Bagi NU, landasan Islam adalah al-Qur’an, sunnah (perkataan,
perbuatan dan taqrîr/ketetapan) Nabi Muhammad Saw. sebagaimana telah dilakukan
bersama para sahabatnya dan sunnah al-khulafâ’ al-rasyidîn, Abu Bakr
al-Shiddiq, ‘Umar ibn al-Khaththab, ‘Utsman ibn ‘Affan dan ‘Ali ibn Abi Thalib.
Dengan landasan ini, maka bagi NU, Ahlussunnah wal Jama’ah dimengerti sebagai
‘para pengikut sunnah Nabi dan ijma’ para ulama’. NU menerima ijtihad dalam
konteks bagaimana ijtihad itu dapat dimengerti oleh umat. Ulama pendiri NU
menyadari bahwa tidak seluruh umat Islam dapat memahami dan menafsirkan ayat
al-Qur’an maupun matn (isi) hadits dengan baik. Di sinilah peran ulama, yang
sanadnya (mata rantai) bersambung sampai ke Rasulullah Saw., diperlukan untuk
mempermudah pemahaman itu.
Dalam menggunakan landasan itu, ada tiga ciri utama
Ahlussunnah wa al-Jama’ah yang dianut NU, : pertama, adanya keseimbangan antara
dalil aqliy (rasio) dan dalil naqliy (al-Qur’an dan al-Hadits), dengan
penekanan dalil aqliy ditempatkan di bawah dalil naqliy. Kedua, berusaha sekuat
tenaga memurnikan akidah dari segala campuran akidah di luar Islam. Ketiga,
tidak mudah menjatuhkan vonis musyrik, kufur dan sebagainya atas seseorang yang
karena sesuatu sebab belum dapat memurnikan akidahnya.
Dalam hal tashawuf, NU berusaha mengimplementasikan îmân,
islâm dan ihsân secara serempak, terpadu dan berkesinambungan. Berlandaskan
tashawuf yang dianut, NU dapat menerima hal-hal baru yang bersifat lokal
sepanjang dapat meningkatkan intensitas keberagaman. Dengan tashawuf yang
dianut, NU juga berusaha menjaga setiap perkembangan agar tidak menyimpang dari
ajaran Islam.
NAHDLATUL
ULAMA
Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan
Cendekiawan Islam), disingkat NU, adalah sebuah organisasi Islam yang terbesar
di Indonesia.
Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan,
sosial, dan ekonomi.
Sejarah
Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang
dialami bangsa Indonesia,
akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran
kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan
pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan
“Kebangkitan Nasional”. Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana
setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan
bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan
pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan
kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk
organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada
1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga
dengan “Nahdlatul Fikri” (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan
sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan
Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk
memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka
Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga
pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Suatu waktu Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekkah, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut. Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Wahab Hasbullah dan sesepuh NU lainnya melakukan walk out.
Suatu waktu Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekkah, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut. Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Wahab Hasbullah dan sesepuh NU lainnya melakukan walk out.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan
bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan
pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang
diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite
Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu
Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan
ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional
kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab
dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat
berharga.
Berangkan komite dan berbagai organisasi yang bersifat
embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi
yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan
zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kyai, akhirnya muncul
kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama
(Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini
dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H.
Hasyim Asy’ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga
merumuskan kitab I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian
diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga
NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
Paham
keagamaan
NU menganut paham Ahlussunah waljama’ah, sebuah pola pikir
yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum
ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya
al-Qur’an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan
realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu
seperti Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi.
Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi’i dan
mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi, imam Maliki,dan imam Hanbali
sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara
dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi,
yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum
penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta
merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial.
Serta merumuskankembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil
kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.
Daftar
Pimpinan
Berikut ini adalah daftar Ketua Rais Aam (pimpinan tertinggi)
Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama:
1)
KH Mohammad Hasyim Asy’arie 1926 - 1947
2)
KH Abdul Wahab Chasbullah 1947 - 1971
3)
KH Bisri Syansuri 1972 - 1980
4)
KH Muhammad Ali Maksum 1980 - 1984
5)
KH Achmad Muhammad Hasan Siddiq 1984 -
1991
6)
KH Ali Yafie (pjs) 1991 - 1992
7)
KH Mohammad Ilyas Ruhiat 1992 - 1999
8)
KH Mohammad Ahmad Sahal Mahfudz 1999 -
2004
9)
Prof Dr KH Said Agil Siradj 2004 - sekarang
Basis
Pendukung
Dalam menentukan basis pendukung atau warga NU ada beberapa
istilah yang perlu diperjelas, yaitu: anggota, pendukung atau simpatisan, serta
Muslim tradisionalis yang sepaham dengan NU. Jika istilah warga disamakan
dengan istilah anggota, maka sampai hari ini tidak ada satu dokumen resmipun
yang bisa dirujuk untuk itu. Hal ini karena sampai saat ini tidak ada upaya
serius di tubuh NU di tingkat apapun untuk mengelola keanggotaannya.
Apabila dilihat dari segi pendukung atau simpatisan, ada dua
cara melihatnya. Dari segi politik, bisa dilihat dari jumlah perolehan suara
partai-partai yang berbasis atau diasosiasikan dengan NU, seperti PKBU, PNU,
PKU, Partai SUNI, dan sebagian dari PPP. Sedangkan dari segi paham keagamaan
maka bisa dilihat dari jumlah orang yang mendukung dan mengikuti paham kegamaan
NU. Maka dalam hal ini bisa dirujuk hasil penelitian Saiful Mujani (2002) yaitu
berkisar 48% dari Muslim santri Indonesia. Suaidi Asyari[1] memperkirakan ada
sekitar 51 juta dari Muslim santri Indonesia dapat dikatakan pendukung
atau pengikut paham keagamaan NU. Jumlah keseluruhan Muslim santri yang disebut
sampai 80 juta atau lebih, merupakan mereka yang sama paham keagamaannya dengan
paham kegamaan NU. Namun belum tentu mereka ini semuanya warga atau mau disebut
berafiliasi dengan NU.
Berdasarkan lokasi dan karakteristiknya, mayoritas pengikut
NU terdapat di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatra.
Pada perkembangan terakhir terlihat bahwa pengikut NU mempunyai profesi
beragam, meskipun sebagian besar di antara mereka adalah rakyat jelata baik di
perkotaan maupun di pedesaan. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi, karena
secara sosial ekonomi memiliki problem yang sama, serta selain itu juga
sama-sama sangat menjiwai ajaran ahlus sunnah wal jamaah. Pada umumnya mereka
memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat
pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.
Basis pendukung NU ini cenderung mengalami pergeseran. Sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi, maka penduduk NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Maka kalau selama ini basis NU lebih kuat di sektor petani di pedesaan, maka saat di sektor buruh di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini. Belakangan ini NU sudah memiliki sejumlah doktor atau magister dalam berbagai bidang ilmu selain dari ilmu ke-Islam-an baik dari dalam maupun luar negeri, termasuk negara-negara Barat. Namun para doktor dan magister ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh para pengurus NU hampir di setiap lapisan kepengurusan NU.
Basis pendukung NU ini cenderung mengalami pergeseran. Sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi, maka penduduk NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Maka kalau selama ini basis NU lebih kuat di sektor petani di pedesaan, maka saat di sektor buruh di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini. Belakangan ini NU sudah memiliki sejumlah doktor atau magister dalam berbagai bidang ilmu selain dari ilmu ke-Islam-an baik dari dalam maupun luar negeri, termasuk negara-negara Barat. Namun para doktor dan magister ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh para pengurus NU hampir di setiap lapisan kepengurusan NU.
Tujuan
Organisasi
Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama’ah
di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Usaha
1)
Di bidang agama, melaksanakan dakwah
Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat
persatuan dalam perbedaan.
2)
Di bidang pendidikan, menyelenggarakan
pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang
bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.Hal ini terbukti dengan lahirnya
Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai daerah
khususnya di Pulau Jawa.
3)
Di bidang sosial budaya, mengusahakan
kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan
kemanusiaan.
4)
Di bidang ekonomi, mengusahakan
pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan
berkembangnya ekonomi rakyat.Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan
Keuangan lain yang yang telah terbukti membantu masyarakat.
5. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyrakat.
5. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyrakat.
Struktur
1)
Pengurus Besar (tingkat Pusat)
2)
Pengurus Wilayah (tingkat Propinsi)
3)
Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten/Kota)
atau Pengurus Cabang Istimewa untuk kepengurusan di luar negeri
4)
Pengurus Majlis Wakil Cabang / MWC
(tingkat Kecamatan)
Pengurus Ranting (tingkat Desa / Kelurahan)
Pengurus Ranting (tingkat Desa / Kelurahan)
5)
Untuk Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majelis
Wakil Cabang, setiap kepengurusan terdiri dari:
6)
Mustayar (Penasihat)
7)
Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
8)
Tanfidziyah (Pelaksana Harian)
9)
Untuk Ranting, setiap kepengurusan
terdiri dari:
10) Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
11) Tanfidziyah (Pelaksana harian)
Jaringan
1)
Hingga akhir tahun 2000, jaringan
organisasi NU meliputi:
2)
33 Wilayah
3)
439 Cabang
4)
15 Cabang Istimewa yang berada di luar
negeri
5)
5.450 Majelis Wakil Cabang / MWC
6)
47.125 Ranting
BAB II
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah tersebut diatas maka penulis dapat
menyimpulkan bahwa, NU menganut paham Ahlussunah waljama’ah, sebuah pola pikir
yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum
ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya
al-Qur’an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan
realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu
seperti Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi.
Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi’i dan
mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi, imam Maliki,dan imam Hanbali
sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara
dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi,
yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum
penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta
merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial.
Serta merumuskankembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil
kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.
DAFTAR PUSTAKA
Khoiruon
Nahdliyin, Ahlussunah Wal Jamaah. LKPSM. Yogyakarta.
1999
Muhammad Tolhah
Hasan, Ahlussunah Waljamaah dalam Persepsi dan Trandisi NU. Lantabora
Press. Jakarta.
2006
Thoyib dan Endang
Turmudzi. Paham Ahlussunah Waljamaah dan Nahdlatul Ulama dalam Dinamika
Bangsa. Pimpinan Pusat LP Ma’arif. Jakarta.
tt
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !