BAB I
PEMBAHASAN
A.
Tasyri’ pada
Masa Awal Abad ke dua sampai Pertengahan Abad ke Empat serta Faktor yang
Mendorong Perkembangan
1.
Faktor
Pendorong perkembangan
Tarikh tasyri
Islam seperti dikemukakan Ali Al-Ayafi’I adalah ilmu yang membahas keadaan
hukum-hukum pada masa nabi dan sesudahnya termasuk penjelasan dan
periodesasinya. Yang pada perkembangannya hukum itu menjelaskan
karakteristiknya.
Menurut batasan
diatas tampak bahwa tarikh tasyri Islam merupakan pembahasan tentang segala
aktifitas manusia dalam pembentukan perundang-undangan Islam dimasa lampau,
baik masa nabi, sahabat maupun tabi’in.
Sejak masa
khulafaur rasyidin berakhir, fase selanjutnya dikenal dengan tabi’in atau
sahabat yang pemerintahannya dipimpin oleh Bani Umayah. Pemerintahan Bani
Umayah menggunakan sistem monarki yang menggantikan sistem pemerintahan
sebelumnya, yang bersifat kekholifahan.
Umat Islam pada
saat itu terpecah menjadi tiga kelompok; khowarij sebagai penentang Ali, syi’ah
sebagai pendukung ali, dan kelompok mayoritas (jumhur). Munculnya
keompok-kelompok itu berpengaruh besar dalam mewarnai proses perkembangan hukum
Islam.
Salah satu
langkah awal yang dilakukan Mu’awiyah dalam menjalankan pemerintahannya, yaitu
melalakukan ekspansi ke Negara barat sehingga dapat menguasai beberapa wilayah
dibagian barat.
Pada masa Abu
Bakar dan Ustman sahabat dilarang keluar dari madinah, agar tidak menyebarkan
hadits secara sembarangan dan dapat bermusyawarah bersama dalam menghadapi
persoalan-persoalan hukum yang penting.
2.
Sumber-Sumber
Hukum Islam Pada Zaman Tabi’in
Pada zaman
nabi dan kholifah, berjalannya hukum Islam senantiasa sejalan dengan
kebijaksanaan para pemegang kekuasaan pemerintahan karena kekuasaan kehakiman
dipegang dan dijalankan langsung oleh pemimpin Negara. Akan tetapi setelah
kepemimpinan berpindah ketangan Bani Umayah.
Perkembangan
hukum Islam menunjukan arah yang berlainan. Hukum yang seharusnya berfungsi
sebbagai sandaran tempat kembali bagi pihak-pihak yang berselisih, sejak zaman
muawiyah berubah sifatnya menjadi alat dan pelindung bagi
kepentingan-kepentingan golongan yang sedang barkuasa.
Karena pada
tahun-tahun permulaan, perhatian pemerintah tercurahkan untuk menghadapi
peperangan dengan Negara-negara lain, maka perkembangan hokum Islam banyak
sekali mendapat pengaruh dari keputusan-keputusan para qodhi yang diangkat
Gubernur dan fatwa-fatwa para ahli hukum diluar pemerintahan yang dianggap
mampu dan berpengetahuan luar tentang Al-Qur’an dan Al-sunnah.
Secara umum
tabi’in mengikuti langkah-langkah penetapan hukum yang dilakukan oleh sahabat
dalam mengeluarkan hukum. Langkah-langkah yang mereka lakukan diantaranya
mencari ketentuan dalam Al-Qur’an. Apabila ketentuan itu tidak ada, mereka
mencari dalam As-Sunnah. Apabila tidak ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah,
mereka kembali kepada pendapat sahabat. Apabila pendapat sahabat tidak
diperoleh, mereka berijtihad.
Dengan
demikian sumber hukum pada masa tabi’in adalah Al-Qur’an, Al-Sunnah, ijmak
sahabat, dan ijtihad.
3.
Pengaruh Ahli
Hadits dan Ahli Ra’yu Terhadap Hukum Islam
Pada masa
tabi’in ini para ulama’ dibedakan menjadi dua aliran yaitu Al-Hadits (madrasah
al-madinah), al-hadits ra’yu (madrasah al-kufah). Al-hadits adalah golongan
yang banyak menggunakan riwayat dan sangat berhati-hati dalam penggunaan ra’yu.
Imam malik brpendapat bahwa, ijma’ penduduk madinah merupakan hujjah yang wajib
diikuti. Dalam perkembangan selanjutnya aliran ini terpecah, seperti aliran
maikiyah, syafi’iyah, hanbaliyah, dan hanafiyah.
Adapun ahli
ra’yu lebih banyak menggunakan ra’yu ditambah hadits. Munculnya dua aliran
pemikiran hukum ini semakin mempercepat perkembangan ikhtilaf. Dan pada saat
yang sama, semakin memotifasi perkembangan hukum Islam.
Kedua aliran
tersebut, masing-masing memiliki pendapat dan pengikut sendiri. Disisi lain
munculnya dua aliran pemikiran hukum ini merupakan bukti bahwa dalam Islam
terdapat kebebasan berfikir dan masing-masing saling menghargai perbedaan
pendapat diantara mereka.
B. Penyusunan
Sunah dan Pengaruhnya atas Perkembangan Tasyri’
1.
Penyusunan Sunnah
Yang dimaksut dengan menyusun As
Sunnah adalah mengumpulkan As Sunnah yang sejenis dalam satu judul, sebagiannya
dikumpulkan dengan sebagian yang lain, seperti hadis tentang shalat, puasa dan
lain sebagainya. Pemikiran ini timbul diseluruh Negara-negara islam dalam waktu
yang berdekatan sehinggga tidak diketahui orang yang memperoleh keutamaan
dikarenakan lebih dahulu dalam penyusunan itu.
Termasuk orang yang membukukan pada
tahap pertama dalam periode ini adalah Imam Malik bin Anas di Madinah, Abdul
Malik bin Abdul Azis bi juraij di Makkah, sufyan bin Tsauri di Kufah, Hamad bin
Salmah dan Sa’id bin Arubah di Bashrah., Hasyim bin Basyir di Wasith,
Abdurrahman Al Auza’I di syam, Ma’mar bin Rasyid di Yaman, Abdullah bin Mubarak
di Khurasan, dan Jarir bin Abdul Hamid di Ray. Hal ini terjadi pada tahun 140 H
lebih sdikit. Pada kitab-kitab itu hadis masih bercampur dengan kata-kata
shahabat dan tabi’in sebagaiman kita lihat dalam kitab Al Muwatha’ susunan Imam
Malik rahimahullah.
Pada tahap kedua hadis Rasulullah
mulai dipisahkan dari kata-kata orang lain, yaitu pada permulaan tahun 200H.
Mereka mengarang kitab yang dikenal dengan musnad, seperti musnad Abdullah bin
Musa Al- Kufi, Musnad musaddad bin Masrahad Al Bashri, Musnad Asad bin Musa Al
Mishri, Musnad Na’im bin hamad Al Kaza’I, Musnad Ishak bin Rahawaih. Musnad
Usman bin Abi Saibah dan Musnad Ahmad bin Hambal. Mereka meletakkan hadist pad
musnad-musnad perawinya. Mereka sebut Musnad Abu BAkar, Suatu buku yang
didalamnya berisikan Hadist yang diriwayatkan dari padanya. Sesudah itu mereka
menyebutkan sahabat satu persatu menurut cara ini.
Sesudah tahapan ini datang tahapan
lain yang dihadapannnya terlihat perbendaharaan besar makanya terbuka pintu
pemilihan Hadist.
Tahap ini, dua imam besar tokoh As
Sunnah yaitu Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il Al Bukhari Al Ja’fi yang
meninggal pada tahun 256 H, dan Muslim bin Hajjaj An- Naisaburi yang meninggal
pada 261 H, menyusun dua kitab Shahihnya, setelah cermat dalam meriwayatkan dan
memilihnya. Dua kitab Shahih itu adalah puncak pembukuan hadits. Jalan dua
tokoh itu ditempuh juga Abu Dawud Sulaiman bin Al A’yasy As Sijistani yang
meninggal tahun 279 H, Abu Isa Muhammad bin Isa Al Salmi At turmudzi yang
meninggal pada tahun 279 H, Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Al Qazwini yang terkenal
dengan ibnu Majah yang meninggal pad atahun 273 H, dan Abu Abdurrahman Ahmad
bin Syu’aib An Nasa’I yang meninggal pada tahun 303 H. Kitab-kitab mereka
menurut lisan ahli hadits terkenal dengan kutubus sittah (kitab hadits yang
enam). Dikalanga kaum muslimin kitab itu memperoleh derajat yang tinggi karena
para perawinya dpat dipercaya apalagi Bukhari dan Muslim. Bukan meereka saja
orang-orang yang menyusun sunnah, namun banyak orang lain disamping mereka,
hanya saja enam orang itulah yang memperoleh kemasyuran yang tidak diperoleh
oleh selain mereka .
Diantara tokoh-tokoh pada periode
ini ada yang membahas tentang keadaan perawi hadits dari tabi’in dan
orang-orang sesudah mereka. Masing-masing perawi disifati dengan sifat yang ada
pada diri mereka yakni kuat ingatan, kerapian dan keadilannya, atau sifat-sifat
kebalikannya. Para pembahas itu dikenal sebagai tokoh-tokoh Al-jarh wat ta’dil
(mencacatkan dan mengadilakn perawi). Siapa yang dianggap cacat maka hadistnya
ditinggalkan.
Persoalan As Sunnah berakhir pada
pertengahan periode keempat dan As Sunnah sudah berdiri menjadi ilmu yang
berdiri sendiri dengan tokoh-tokoh khusus yang membahasnya.
2.
Pengaruh Sunnah Terhadap Tasyri’
Sebagaimana yang telah kita ketahui
bahwa sunnah merupakan sumber islam kedua bagi ilmu fiqh dan syariat setelah
Al-qur’an. Oleh karena itu, memandang sunnah sebagai sumber dalil bagi
hukum-hukum syariat merupakan suatu pembahasan yang baik dan menciptakan
wawasan luas yang mewarnai semua kitab ushul fikih dan semua mazhab fiqih.
Dalam hal ini, Imam Auza’I wafat
pada 157 H, mengatakan bahwa Al;qur’an lebih membutuhkan sunnah dari pada
sunnah terhadap Al-qur’an. Hal itu karena sunnah berfungsi menjelaskan makna
dan merinci keutamaan Al-qur’an. Berdasarkan kenyataan ini, sebagian ulama
mengatakan bahwa sunnahlah yang memegang keputusan terhadap Al Kitab. Dengan
kata lain fungsi sunnah adalah menjelaskan makna yang dimaksut Al-qur’an.
Akan tetapi Imam Ahmad masih kurang
puas dengan ungkapan ini, tapi tidak berani mengatakan demikian dan hanya
mengatakan bahwa sunnah itu menjelaskan makna Al-qur’an. Pendapat ini cukup
adil, yaitu memandang sunnah sebagai penjelas Al-qur’an dan disisi lain subjek
yang dikemukakan sunnah meliputi Al-qur’an dan tidak pernah keluar atau
menyimpang darinya.
Status sunnah sebagai sumber hokum
bagi pen-tasyri’-an (perintah) dalam masalah ibadah dan muamalah, individu,
keluarga, mayarakat dan Negara tidak diperselisihkan lagi. Imam Syaukani
mengatakan bahwa ketetapan status sunnah hujjah dan kemandiriannya dalam merealisasikan
hokum syariat dan sunnah sebagai keharusan agama, tidak ditentang oleh
seorangpun, selain oleh orang yang mempunyai pemahaman dangkal terhadap agama
islam.
Seseorang yang membaca kitab fikih
islam dan mazhab apapun, akan banyak menemukan dalil sunnah, baik berupa
ucapan, perbuatan, maupun ketetapan. Dalam hal ini orang-orang atau kalangan
yang dikenal dalam tarikh fikih dengan sebutan golongan ahli hadis dan yang
dikenal dengan sebutan ahli ra’yu sama saja. Prinsip pokoknya dapat diterima oleh
kedua kalangan tersebut.. perbedaan pendapat hanya ada dalam perincian dan
penerapannya sebagai konsekuensi perbedaan mereka dalam mensyaratkan hadis yang
dapat diterima dan pengamalannya. Dengan demikian, orang yang membaca kitab
mazhab Hanafi (aliran nasionalis) akan menemukan banyak hadis yang dijadikan
sandaran hokum oleh guru-guru mereka.
Sebagian orang yang fanatic dan
tidak objektif mengatakan bahwa di antara mereka ada orang yang wawasannya
kurang dalam meriwayatkan hadist karena kurangnya perhatian terhadap bidang
ini. Padahal tuduhan itu tidak pantas dilancarkan terhadap imam besar karena
sesungguhnya syariat islam hanya dapat disimpulkan dari Al-quran dan sunnah.
Orang yang sedikit memiliki perbendaharaan hadist, diharuskan menuntut dan
meriwayatkannya, serta bersungguh-sungguh menekuni bidang ini supaya dia dapat
menyimpulkan hukum-hukum agama dari sumber-sumber yang benar dan menerimanya
dari Nabi yang ditugaskan oleh Allah untuk menyampaikannya.
Agar sunnah dapat dijadikan rujukan
dalam hokum tasyri’, terlebih lagi kita harus menelitinya dengan pembuktian
yang sumber-sumbernya dari Nabi. Kriteria ini menurut peristilahan ilmu
mushthalah hadis-agar hadis dapat dijadikan dalil_ hendaklah hadist itu
berpredikat shahih atau hasan. Predikat shahih menurut yudisium yang diberikan
oleh universitas, berarti istimewa dan baik sekali, sedangkan predikat hasan
berartti baik atau sedang. Oleh karena itu dpat dikatakan bahwa predikat hasan
yang tinggi lebih mendekati predikat shahih, sebagaimana predikat hasan yang
rendah, lebih dekat dengan criteria dhaif .
Kita dapat menyimpulkan dengan pasti
bahwa semua ahli fikih kaum mislimin dari berbagai aliran dan mazhabnya
dikota-kota besar, baik dari kalangan yang mazhabnya masih ada maupun yang
sudah pudar, baik dari kalangan orang-orang yang diikuti maupun bukan,
berpendapat bahwa sunnah merupakan pegangan dan sumber hokum mereka dalam
menetapkan hokum-hukum fikih, yaitu apabila dalam sunnah tersebut terdapat
suatu penjelasan yang menerangkan hokum agama Allah. Mereka sama sekali tidak
mau menentang perintah yng diisyaratkan oleh sunnah. Dalam hal ini tidak ada
perbedaan pendapat antara orang yang berasal dari alira ra’yu ataupun aliran
hadist.
C. Munazarah
Ulama tentang Sunnah, Ijma’, Qiyas dan Ijtihad dan Pengaruhnya terhadap
Perkembangan Tasyri’
1.
Munazarah Ulama tentang Sunah,
Ijma’, Qiyas dan Ijtihad
a. As Sunnah
atau Al-Hadits
Ø
Definisi As Sunnah
Al Imam Abu
Zahro’, mendifinisikan As Sunnah adalah
Sunnah Nai
adalah sabda-sabda Nabi SAW, perbuatan beliau dan taqrir beliau
Ø
Pembagian Sunnah Dilihat dari
bentuknya
a. Sunnah
Qouliyah
b. Sunnah fi’liyah
c. Sunnah Taqririyah
d. Sunnah Hammiyah
b. Sunnah fi’liyah
c. Sunnah Taqririyah
d. Sunnah Hammiyah
Ø
Pembagian As Sunnah dari Bilangan
Ruwahya
a. As Sunnah
/ Al Hadits Mutawatir
b. Hadits Masyhur
c. Hadits Ahad
b. Hadits Masyhur
c. Hadits Ahad
Ø
Pembagian As Sunnah ditinjau dari
Shoheh Tidaknya
a. Hadits
Shoheh
b. Hadits hasan
c. Hadits dlo’if
d. Hadits Maudlu’ (palsu)
b. Hadits hasan
c. Hadits dlo’if
d. Hadits Maudlu’ (palsu)
Ø
Dalalah dari Al Hadits
Jumhur
ulama’ sepakat bahwa status dalil hadits Mutawatir adalah qoth’i (menyakinkan)
sedangkan hadits ahad adalah dhonni (disangka kuat kebenarannya), sehingga
hanya hadits mutawatir yang dapat dipegangi sebagai dalil/hujjah masalah aqoid,
sedangkan hadits ahad hanya dapat sebagai hujjah masalah amalan-amalan.
Ø
Status hukum sunnah / hadits
Para ulama’
sepakat bahwa sunnah / hadits adalah merupakan sumber hukum syar’i yang kedua
sesudah Al Qur’anul Karim.
Ø
Hubungan As Sunnah dengan Al Qur’an
Hubungan As
Sunnah dengan Al Qur’an itu sebagai uruta yang mengiringi atau sebagai urutan
kedua sesudah Al-Qur’an.
Ditinjau dari segi hukum yang ada, maka tidak lebih dari tiga masalah ini:
Ditinjau dari segi hukum yang ada, maka tidak lebih dari tiga masalah ini:
§
As Sunnah berfungsi sebagai penguat
hukum yang telah ada didalam Al-Qur’an.
§
As Sunnah sebagai penjelas atau
penafsir dari ketentuan hukum yang ada dalam Al Qur’an, dalam hal ini As Sunnah
menjelaskan tentang Mujmalnya Al Qur’an, Mutlaqnya Al Qur’an.
§
As Sunnah membentuk dan menetapkan
hukum tersendiri yang tidak terdapat dalam Al Qur’an, misalnya perihal tata
cara makan, pesta dan lain sebagainya.
b. Al-Ijma’
Ø
Definisi / ta’arif Ijma’
Yang
dimaksud dengan ijma’ adalah
Kesepakatan para ulama’ mujtahidin (ahli ijtihad) dari ummat Muhammad SAW setelah wafat beliau dalam suatu waktu dari beberapa waktu dan atas sesuatu perkata / masalah dari beberapa masalah.
Kesepakatan para ulama’ mujtahidin (ahli ijtihad) dari ummat Muhammad SAW setelah wafat beliau dalam suatu waktu dari beberapa waktu dan atas sesuatu perkata / masalah dari beberapa masalah.
Ø
Kehujjahan Ijma’
Kebanyakan
ulama berpendapat bahwa kehujjahan ijma’ adalah dhonni, bukan qoth’i. Oleh
karena itu ijma’ hanya dapat dipergunakan sebagai peganan dalam bidang amal dan
tidak bisa dipakai sebagai pegangan dalam bidang aqidah (I’tiqod), sebab urusan
aqidah harus berdasarkan dalil yang qoth’i.
Ø
Sandaran Ijma’
Ijma’
dipandang sah manakala bersandar pada Al Qur’an dan As Sunnah:
Ø
Pembagian Ijma’
Dilihat dari
caranya maka ijma’ itu dibagi dua yakni ijma’ qouli dan sukuti.
c. Al Qiyas
Ø
Definisi Qiyas
Qiyas itu
adalah menetapkan sesuatu hukum perbuatan yang belum ada ketentuan hukumnya
berdasarkan sesuatu hukum perbuatan yang telah ada ketentuan hukumnya oleh Nash
(Al Quran dan As Sunnah) disebabkan adanya persamaan illat antara keduanya.
Ø
Rukun Qiyas
Rukun qiyas
ada empat yaitu:
§
Pokok لاصل yakni yang menjadi ukuran
(المقيس عليه) disebut juga dengan tempat menserupakan (المشبه به)
§
Cabang / الفرع yakni hal yang
diukurkan (المقيس) atau hal yang diserupakan (لمشلبه)
§
Sebab / العلة yakni sesuatu sebab
yang menghubungkan antara pokok dan cabang.
§
Hukum / لحكم yakni hukum cabang yang
dihasilkan dari pengqiyasan tersebut.
Ø
Macam-macam Qiyas
Macam-macam
qiyas itu antara lain:
a. Qiyas
Aula (الاء ولى)
b. Qiyas Musawi (المساوي)
b. Qiyas Musawi (المساوي)
c. Qiyas
Dalalah (الدلا لة)
d. Qiyas syibih (الشبة)
e. Qiyas Adwan (الآدوان)
d. Qiyas syibih (الشبة)
e. Qiyas Adwan (الآدوان)
Ø
Kehujjahan Qiyas
Yang
dikehendaki dengan ijtihad menurut pandangan golongan ini adalah dengan
kemampuan daya fikiran dan kemampuan lainnya menetapkan hukum dengan tetap
melihat ketentuan yang telah ada pada nash yakni dengan cara mengqiyas.
d. Ijtihad
Ø
Pengertiannya
Ijtihad
adalah usaha dengan sungguh-sungguh menggunakan seluuh kesanggupan untuk
menetapkan hukum-hukum syara’ berdasarkan dalil-dali nash (Al-Qur’an dan Al
Hadits).
Mujtahid adalah para ahli fikih yang berusaha dengan sungguh-sungguh dengan seluruh keanggupannya untuk menghasilkan hukum syara’ dengan jalan mengistinbathkan hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah.
Mujtahid adalah para ahli fikih yang berusaha dengan sungguh-sungguh dengan seluruh keanggupannya untuk menghasilkan hukum syara’ dengan jalan mengistinbathkan hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah.
Ø
Hukumnya
Ada tiga
criteria hukum berijtihad:
§
Wajib ‘ain, yakni apabila seseorang
yang ditanya perihal hukum suatu peristiwa, sedangkan peristiwa itu akan hilang
sebelum ditetapkan hukumnya.
§
Wajib kifayah, yakni bagi seseorang
yang ditanya tentang sesuatu peristiwa hukum, dan tidak dikhawatirkan segera
hilangnya peristiwa itu, sementara disamping dirinya masih ada mujtahid lain
yang lebih ahli.
§
Sunnat, yakni berijtihad terhadap
sesuatu hukum yang belum terjadi baik ditanya ataupun tidak ada yang
mempertanyakan.
Ø
Syarat-syarat menjadi mujtahid
§
Mengetahui dengan mendalam nash-nash
Al Qur’an dan As Sunnah dan segala ilmu yang terkait dengannya.
§
Kalau ia memegangi ijma, maka ia
harus tahu seluk beluk ijma’ dan apa-apa yang telah di ijma’kan.
§
Mengetahui dengan mendalam ilmu
ushul fiqih karena ilmu ini merupakan dasar pokok didalam berijtihad.
§
Mengetuhi dengan mendalam masalah
nasekh mansukh mana dalil yang sudah mansukh mana pula yang tidak mansukh.
§
Mengetahui dengan mendalam bahasa
arab dan ilmu-ilmu yang terkait dengannya, ilmu nahwu shorof, balaghoh, badi’
dan bayan serta mantiqnya.
Ø
Pembagian ijtihad
Pada garis
besarnya pelaksanaan ijtihad dibagi dua yakni
§
Ijtihad الفردية (fardiyah), yakni
ijtihad yang dilakukan oleh orang-perorangan, tanpa melibatkan persetujuan atau
pertimbangan mujtahid lain.
§
Ijtihad لجماعية (jam’iyah), yakni
ijtihad dengan melibatkan fihak (mujtahid) lan untuk bermusawarah menetapkan
hukum sesuatu persoalan.
Ø
Keperluan terhadap ijtihad
Sejak Muadz
bin Jabal diutus Rosul ke Yaman sampai sekarang ijtihad itu senantiasa tetap
diperlukan, karena banyaknya kasus yang tidak secara tegas ditetapkan hukumnya
oleh Al Quran dan As Sunnah. apabila zaman sekarang ini, dimana agama Islam
telah berkembang dan bertemu dengan budaya dan alam lain dari tempat
kelahirannya, maka persoalan yang muncul tentu lebih banyak lagi, apalagi saat
ini perkembangan ilmu dan tehnologi dengan pesat sekali. Maka
persoalan-persoalan yang muncul itu harus ada kejelasan status hukumnya.
2.
Pengaruh Sunnah Ijma’, Qiyas, dan
Ijtihad terhadap Perkembangan Tasyri’
Seiring dengan lajunya prkembangan
Islam ke berbagai penjuru, maka muncullah persoalan-persoalan baru yang saat
itu terjadi pada masa Rasulullah, padahal al-Qur’an sendiri hanya memuat
sebagian hukum terinci, sementara sunnah hanya sebatas pada persoalan-persoalan
yang berkembang pada masa Rasulullah. Maka dari itu dalam menyelesaikan
persoalan baru dibutuhkanlah konsep “ijtihad”. Hingga pada akhirnya konsep
"ijtihad" yang awal mulanya muncul sekitar pada abad keempat
Hijriyah, muncul produk pemikiran yang baru.
1.
Periode fiqh di Era Kenabian
Nabi
melakukan ijtihad apabila terhadap suatu peristiwa yang tidak ada ketentuan
hukumnya. Dan lamanya Nabi menunggu datangnya wahyu merupakan justifikasi dari
al-Qur`an. Kemudian dengan ijtihadnya para sahabat ? sebagaimana yang telah
dipraktekkan oleh Nabi, Nabi membolehkan para sahabatnya untuk juga melakukan
ijtihadnya
2.
Periode fiqh di era
Khulafaurrosyidun
Di dalam
penetapan suatu hukum para khulafaurrosyidun tetap berpegang dengan al-Qur`an
dan as-Sunnah. Tetapi adakalanya dengan menggunakan kesepakatan bersama yang disebut
dengan Ijma` dan Qiyas.
Sebagai
pengganti Nabi dalam mengambil sumber hukum untuk menentukan suatu perkara,
mengambil dari al-Qur`an, as-Sunnah, dan ijtihad "ra`yu" baik
kolektif (hasil musyawarah dari sahabat disebut dengan ijmak.), kemudian
ijtihad individu
3.
Periode fiqh di era Sahabat dan
Tabi’in
Di era ini
perkembangan fiqh membingungkan banyak pengamat. Karena akibat dari warisan
pergolakan antara `Ustman dan Ali. Hingga sampai pada pemerintahan daulah
Umayyah. Hingga sampai melahirkan agitas teologi yang cukup tajam. Sehingga
banyak pengamat sejarah yang mengatakan bahwa dalam periode ini perkembangan
fiqh tenggelam di bawah perpecahan antara kesatuan agama dan negara.
Bahwa
pergolakan daulah Umayyah yang membawa agitas teologi, ternyata membawa
pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan fiqh berikutnya yaitu era
kodifikasi yang munculnya Imam-imam mazhab. Pada pembahasan "fiqh dalam
era keemasan". Sehingga fiqh dari masa kemasa mempunyai kesinambungan
antara yang satu dengan yang lain. Periode ini dalam perkembangan fiqhnya
bermula ketika pemerintahan Islam diambil alih oleh Muawiyah bin Abu Sofyan
tahun 41 H hingga awal abad kedua Hijrah.
4.
Periode fiqh di era zaman keemasan
Masa ini
sangat terkenal dengan perkembangan kebudayaan perluasan perdagangan dari semua
cabang ilmu ekonomi serta kemajuan dalam ilmu pengetahuan. kira-kira pada abad
ke delapan adalah banyak ilmu pengetahuan yang berbahasa ajam kedalam bahasa
arab, terutama dari bahasa Parsi dan bahasa Yunani. Ilmu-ilmu fiqh berkembang
sangat pesat yaitu banyaknya tafsir-tafsir al-Qur`an dan kumpulan-kumpulan
hadis. Hingga yang paling menonjol dalam periode ini adalah lahirnya beberapa
fuqaha sunni yang terbagi ke dalam dua golongan yaitu fuqaha sunni ahli ra`yi
di Irak dengan pelopor Imam Abu Hanifah, dan golongan yang kedua fuqaha sunni
hadis di Hijaz yang dipelopori oleh Imam Malik bin Anas.
5.
Periode fiqh diera stabnasi dan
jumud
Pada
pertengahan abad IV Bani Abasiyah mulai terdapat tanda-tanda kejatuhannya,
karena disebabkan banyak daerah-daerah dominannya melepaskan diri dari khalifah
Abbasiyah dengan mendirikan negara sendiri. Akibatnya kekuasaan menjadi lemah
dan mundur. Dengan demikian yang dahulu pemerintahan selalu dipegang oleh
seorang muslim, akhirnya berpindah tangan kepada orang yang tak mengenal
TuhþKan, bengis, kejam, yaitu Jenghis Khan serta anak keturunannya. Hal ini
pergolakan politik semacam ini sangat berpengaruh dalam perkembangan ilmu
pengetahuan, sehingga ilmu pengetahuan dalam dunia Islam mengalami kemunduran.
Dari situasi politik yang kacau pada waktu itu, menyebabkan kemunduran dalam
hal ilmu pengetahuan. Hingga akhirnya munculah faham taqlid, Yaitu menerima
pendapat secara mutlak dari seorang imam (mazhab) yang tertentu untuk mengikuti
fatwa-fatwa hukumnya. akhirnya fuqaha SunnþÃmenutup pintu ijtihad, sehingga
berkembang bid`ah, kurafat kejumudan berpikir
6.
Periode fiqh di era kebangkitan
kembali
Kita dapat
melihat dalam era kebangkitan fiqh ini dapat kita lihat sekurang-kurangnya
terdapat empat pola utama yang menonjol. Pertama, modernisme, dalam pola ini
digandrungi oleh banyak ulama yang terdidik dalam alam sekuler. Kedua,
Survivalisme, agaknya berbeda dengan pola pertama. Dalam pola kedua ini
bercita-cita ingin membangun pemikiran fiqh dengan berpijak kepada
mazhab-mazhab fiqh yang sudah ada. Dengan menggali permasalahan yang didasarkan
pada pemikiran mazhab tersebut tanpa memandang kepedulian sosial. Ketiga,
tradisional, pola ini keþÃnderungan dengan aliran salafiyah, yang lebih
menekankan pada kembalinya kepada al-Qur`an dan as-Sunnah dengan mendakwahkan
keharusan mengikuti ulama salaf (sahabat dan tabi`ien) dengan karakteristiknya
adalah benar-benar memegang sunnah Nabi yang sekiranya tidak keluar dalam nash
al-Qur`an. Keempat, neo survivalisme, dalam perkembangan terakhir ini, banyak
di kalangan ulama dan fuqaha merespon perkembangan yang baru. Dengan
memfokuskan terhadap kepedulian sosial
D. Munculnya
Istilah-Istilah Fiqhiyah dan Tokoh-Tokoh Mujtahid serta Pengaruhnya dalam
Tasyr’
1. Timbulnya Istilah-Istilah Fiqh
Al-Qur'an
menuntut tuntutan yang dikehendaki dengan gaya bahasa yang telah kami terangkan
pada periode pertama. Gaya bahasanya tidak mempunyai kelebihan atas yang lain
dalam kekuatan menuntutnya, seluruhnya sama. Demikian juga as-Sunnah dalam
menuntut tuntutan yang dikehendakinya. Ketika tuntutan-tuntutan itu
berbeda-beda di hadapan pandangan para fuqaha maka mereka membutuhkan untuk
memilih nama-nama yang menunjukkan yaitu: fardhu, wajib, sunnah, mandub dan
mustahab.
Fardhu dan
wajib adalah dua buah nama bagi sesuatu yang dituntut dengan tuntutan pasti.
Hanya saja menurut golongan Hanafiyah sesuatu yang tuntutannya itu tetap dengan
dalil yang qath’i baik sampainya maupun dilalahnya seperti ayat-ayat al-Qur'an
dan as-Sunnah yang qath’i shaihnya karena mutawatir atau tersohor apabila dia
itu nash, dan wajib adalah sesuatu yang tuntutannya itu tetap dengan dalil yang
zhanni baik sampainya maupun dilalahnya atau kedua-duanya bersama-sama.
Adapun menurut
pendapat yang lain tidak ada perbedaan antara fardhu dan wajib bahkan seluruh
hal yang dituntut dengan dalil pasti (qath’i) maupun zhanni (singkatan). Tetapi
mereka membedakan antara fardhu dan wajib yang dituntut dimana mereka
mengatakan bahwa sesuatu yang dituntut oleh syara’ dan tidak ada penggantinya
maka dia fardhu seperti wuquf di Arafah dam ifadhah. Sesuatu yang dituntut dan
meningalkannya diganti dengan dam, itu namanya wajib seperti ihram, dan di
kalangan mereka fardhu itu dikenal dengan fardhu kifayah yaitu setiap pekerjaan
yang dituntut oleh syara’ tanpa merujuk kepada pelakunya, manakala seorang
mukalaf telah mengerjakannya maka dosanya gugur dari seluruh orang, dan
manakala mereka meninggalkannya semua, maka mereka berdosa.
Sunnah menurut
istilah Hanafiyah adalah sesuatu yang terus dilakukan oleh Rasulullah saw.
Namun kadang-kadang beliau meninggalkannya tanpa udzur. Mandub dan mustahab
adalah sesuatu yang beliau tidak terus menerus mengerjakannya meskipun beliau
tidak mengerjakannya sesudah menggemarkannya pada pada orang lain. Dalam
istilah lain, sunnah, mandup dan mustahab adalah satu pengertian yaitu sesuatu
yang dituntut dengan tuntutan yang tidak pasti, hanya mereka katakana sunnah
muakkadah bagi sesuatu yang oleh hanafiyah disebut sunnah, dan sunnah ghairu
muakkadah bagi sesuatu yang mereka namakan mandub dan mustahab.
Mereka
istilahkan atas sesuatu yang dituntut oleh syara’ untuk mencegahnya dengan
haram dan makruh. Haram menurut Hanafiyah akebalikan fardhu, makruh tahrim
adalah kebalikan wajib, dan makruh tanzih adalah kebalikan sunnah. Menurut
selain mereka (Hanafiyah) haram itu kebalikan fardhu dan wajib, karena fardhu
dan wajib adalah dua persamaan kata (sinonim). Makruh tahrim atau makruh
syaidah adalah sesuatu yang berlawanan dengan sunnah ghairu muakkadah.
2.
Tokoh-Tokoh Mujtahid
Disebutnya salah seorang fuqaha
periode-periode yang lampau hanyalah karena sekedar dinukilnya pendapat-pendapat
mereka di tengah kitab-kitab perbedaan pendapat fuqaha sahabat dan tabi’in yang
memiliki peninggalan-peninggalan besar dalam membina hukum Islam karena mereka
adalah orang salaf yang shahuh, mereka adalah pelita bagi orang yang hidup sesudah
mereka. Dalam pada itu sesungguhnya nama-nama mereka terlipat dalam salah
seorang dari mereka tidak terhitung sebagai ikutan, sedikit jumhur atas
pengaruhnya dan diikuti dalam kumpulan pendapat-pendapatnya. Dalam periode ini
muncullah para mujtahid yang oleh jumhur dianggap sebagai imam-imam yang
mengatur langkah-langkah mereka dan beramal dengan menerapkan pendapat-pendapat
mereka sehingga dijadikannya menduduki nash-nash al-Qur'an dan as-Sunnah yang
tidak boleh dilampauinya.
a.
Imam Pertama Abu Hanifah
Abu Hanifah adalah salah seorang yang arif
(mengetahui) tentang hadits dan fiqih penduduk Kufah, dan ia sangat mengikuti
kepada sesuatu yang dijalankan oleh manusia di negerinya. Pada masanya di Kufah ada tiga ulama besar yaitu:
Ø
Sufyan bin Sa’id Ats Tsauri,
termasuk imam ahli hadits.
Ø
Syarik bin Abdullah An Nakha’i
Ø
Muhammad bin Abdur Rahman bin
Abi Laila
b.
Imam Kedua Malik
Dia adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abu
Amir. Nasabnya berakhir sampai Dzu Ashbah dari Yaman.
Salah seorang kakeknya datang ke Madinah dan menetap di sana. Neneknya Abu Amir
termasuk sahabat Rasulullah saw. yang ikut berperang bersama beliau pada
seluruh perang kecuali perang Badar. Ia (Imam Malik) dilahirkan di Madinah
tahun 93 H.
Ia menuntut ilmu pada ulama Madinah. Orang
pertama yang menjadi tempat belajar adalah Abdur
Rahman bin Hurmuz. Ia tinggal bersama Abdur Rahman dalam waktu yang lama dan
tidak bergaul dengan orang-orang lain. Ia belajar pada
Nafi’ maula Ibnu Umar dan Ibnu Syihab Az Zuhri. Adapun guurnya dalam fiqh
adalah Rabi’ah bin Abdur Rahman yang terkenal dengan Rabi’ah Ar Ra’yu. Ketika
gurunya telah mengakui kepadanya dalam hadits dan fiqh ia duduk untuk
meriwayatkan hadits dan berfatwa. Malik berkata: “Saya tidak duduk (untuk
berfatwa=pen) sehingga tujuh puluh guru dari ahli ilmu telah mengakui bahwa
saya berhak menempati kedudukan itu”.
Orang-orang sepakat bahwa dia adalah imam dalam hadits dan terpercata kebenaran
riwayatnya. Guru-guru, teman-temannya dan orang-orang yang sesudahnya sepakat
atas yang demikian itu sehingga sebagian dari mereka berkata “hadits yang
paling shahih adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik dari Nafi’ dari
Ibnu Umar, kemudian Malik dari Abu Zinad dari A’raj dari Abu Hurairah”.
Dari segi yang kedua ulama-ulama besar dari imam-imam madzabnya mengambil
masalah-masalah dari padanya, dan penurutan mereka akan datang kemudian.
Dalam fatwanya, Malik
rahimatulullah berpegang kepada:
Ø
Kitabullah
Ø
Sunnah Rasulullah saw. yang
dianggap shahih. Dalam hal ini pegangannya adalah muhadits-muhadits besar dari
ulama Hijaz dan ia memberikan perhatian yang besar atas sesuatu yang telah
berlaku untuk diamalkan di Madinah, lebih-lebih amalan para imam dan
kadangan-kadang ia menolah hadits karena tidak adanya pengalaman hadits itu.
Ø
Kemudian ia berpegang kepada
qiyas, apabila tidak ada kitab atau sunnah.
c.
Imam Ketiga Asy Syafi’i
Dia adalah Abdullah bin Muhammad bin Idris bin Abbas
bin Utsman bin Syafi’ Asy Syafi’i Al Muththalibi dri Abdul Muththtalib yaitu
ayah yang ke IV bagi Rasulullah saw., dan ayah yang ke IX bagi Asy Syafi’i.
ibunya berbangsa Yaman dari Al Azdi dan ibunya termasuk wanita yang bernaluri
paling cerdas.
Asy Syafi’i dilahirkan di Ghuzzah pada tahun 150 H
suatu daerah di Asqalan. Ghuzzah itu bukan tanah air
nenek moyangnya, namun ayahnya yang bernama Idris datang kesana karena suatu
keperluan dan meninggal di sana. Asy Syafi’i berumur dua tahun, ia dibawa oleh
ibunya pulang ke tanah air nenek moyangnya yaitu Makkah. Di sanalah ia besar
sebagai anak yatim dalam asuhan ibunya. Ia hafal al-Qur'an di kala masih
kanak-kanak.
Ia terus menetap disana sampai wafatnya pada
tahun 204 H. dan dimakamkan di perkurburan Bani Abdul Hakim. Orang-orang Mesir
memuliakannya baik dikala hidupnya maupun sesudah wafatnya. Ia dianggap orang
yang berkebangsaan Mesir dimana dulunya berkebangsaan Hijaz. Asy Syafi’i adalah
seorang imam yang menyiarkan madzabnya sendiri dengan melakukan
perjalanan-perjalanan dan dialah orang yang menulis sendiri kitab-kitabnya
serta mendiktekan kepada murid-muridnya. Hal ini tidak dikenal pada imam-imam
besar lain.
Asas madzab Asy Syafi’i tertulis dalam Risalah
ushul-nya yakni ia berhujjah dengan zhahir-zhahir al-Qur'an sehingga ada dalil
yang menunjukkan bahwa yang dimaksudkannya bukan zhahir-zhahirnya. Setelah itu
berasaskan as-Sunnah, dan ia telah mempertahankan dengan sekaut-kuatnya untuk
mengalamkan hadits ahad selama perawinya itu bersambung sampai kepada
Rasulullah saw. Ia tidak mensyaratkannya, dan ia tidak mensyaratkan kemasyhuran
hadits sebagaimana penduduk Irak mensyaratkannya. Pembelaan itu memperoleh
bagian yang besar di kalangan ahli hadits sehingga penduduk Baghdad
menjulukinya sebagai penolong as Sunnah. Ia memandang as-Sunnah yang shahih
sebagaimana memandang kepada al-Qur'an, dimana anda lihat masing-masing dari
keduanya wajib diikutinya. Kemudian ia mengamalkan ijma. Pengertian ijma’
menurut Asy Syafi’i adalah tidak diketahui adanya perbedaan pendapat, karena
mengetahui dengan sepakat menurut pandangannya tidaklah mungkin, sebagaimana
kami kemukakan. Apabila di sana tidak ada dalil yang dinash-kan maka ia menuju
kepada qiyas dan mengamalkannya dengan sarat hal itu mempunyai pokok yang
tertentu. Dengan kerasnya ia menolak apa yang oleh orang-orang disebut dengan
istihsan, dan apa yang oleh orang-orang Maliki disebut istishlah, tetapi ia
mengamalkan sesuatu yang mendekatinya yaitu istid-lal. Dengan menghimpun fiqih
orang-orang Hijaz, fiqih orang-orang Irak, dan kefasihan orang-orang Badui maka
Asy Syafi’i punya jalinan yang tersendiri dalam berdiskusi dan kebaikan
tulisannya yang tingkatan tulisannya tidak aklah dengan tulisan penulis yang
paling petah pada waktu itu seperti Al Jahizh dan orang-orang yang semisalnya.
d.
Imam yang Keempat Ahmad bin Hambal
Dia adalah Ahmad bin Hambal bin Hilal Adz Dzahili Asy
Syaibani Al Maruzi Al Baghdadi, dilahirkan pada tahun 164 H. ia mendengar
pembesar-pembesar hadits dari Hasyim, Sufyan bin Uyainah dan orang-orang lain
yang setingkat.
Ia belajar fiqih pada Asy Syafi’i ketikat ia datang di
Baghdad, dan dia adalah muridnya yang tersohor dari orang-orang Baghdad,
kemudian ia ijtihad untuk diirnya sendiri. Ia termasuk mujtahid ahli hadits
yang mengamalkan hadits ahad tanpa syarat selama sanadnya shahih seperti jalan
Asy Syafi’i dan ia mendahulukan pendapat-pendapat sahabat dari pada qiyas.
3.
Pengaruh Fiqih Terhadap
Perkembangan Tasyri’
Munculnya
madzab-madzab fiqih pada periode ini merupakan puncak dari perjalanan
kesejarahan tasyri’. Bahwa munculnya madzab-madzab fiqih itu lahir dari
perkembangan sejarah sendiri, bukan karena pengaruh hukum romawi sebagaimana
yang dituduhkan oleh para orientalis.
Munculnya
madzab dalam sh terlihat adanya pemikiran fiqih dari zaman sahabat, tabi’in
hingga muncul madzab-madzab fiqih pada periode ini. Seperti contoh hukum yang
dipertentangkan oleh Umar bin Khattab dengan Ali bin Abi Thalin ialah masa
‘iddah wanita hamil yang ditinggalkan mati oleh suaminya.
Adanya
pengaruh turun temurun dari ulama-ulama yang hidup sebelumnya tentang timbulnya
madzab tasyri’, ada beberapa faktor yang mendorong di antaranya:
- Karena semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam sehingga hukum Islampun menghadapi berbagai macam masalah yang berbeda-beda tradisinya.
- Munculnya ulama-ulama besar pendiri madzab-madzab fiqih berusaha menyebarluaskan pemahamannya dengan mendirikan pusat-pusat study tentang fiqih, yang diberi nama Al-Madzab atau Al-Madrasah yang diterjemahkan oleh bangsa barat menjadi school, kemudian usaha tersebut dijadikan oleh murid-muridnya.
- Adanya kecenderungan masyarakat Islam ketika memilih salah satu pendapat dari ulama-ulama madzab ketika menghadapi masalah hukum.
E. Tumbuhnya
Jiwa Taqlid, Timbulnya Mazhab dan Kegiatan Fuqaha dalam Periode Taqlid
Periode
berlangsung dari abad 10 / 11 M sampai abad 19 M, yaitu pada akhir Khalifah
Abbasiyyah. Periode ini disebut taqlid karena para fuqaha pada zaman ini tidak
dapat membuat sesuatu yang baru untuk ditambahkan kepada kandungan madzhab yang
sudah ada seperti madzhab Hanbali.
1.
Pengertian Taqlid
Taqlid menurut
bahasa adalah mengikuti orang lain tanpa berpikir. Sedangkan taqlid secara
syara’ adalah melaksanakan pendapat orang lain tanpa disertai hujjah yang kuat.
Misalnya orang awam yang mengambil pendapat seorang mujtahid, atau seorang
mujtahid yang mengambil pendapat mujtahid lain.
2.
Asal Usul Istilah
Periode ini
disebut sebagai periode Taqlid karena para fuqoha pada zaman ini tidak dapat
membuat sesuatu yang baru untuk ditambahkan kepada kandungan madzhab yang sudah
ada, seperti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, serta madzhab lain
yang sudah mencapai tahap kemajuan dan sudah dibukukan bersamaan dengan
ilmu-ilmu syar’i yang lainnya.
3.
Sejarah Kemunculan
Taqlid
Bagi orang yang
mengamati perjalanan syariat islam pada fase ini, tentu akan mendapati bahwa
jiwa kemandirian sebagian para fuqoha sudah mati dan beralih kepada taklid ,
tanpa ada semangat untuk mencari terobosan dan kreatifitas baru.
Mereka telah
meletakkan diri pada ruang yang sempit ,yaitu ruang madzhab yang tidak boleh
dilewati apalagi dilompati, sehingga mereka hanya ikut-ikutan( Taqlid) saja.
Walaupun fase ini penuh dengan semangat taqlid, namun sebenarnya masih ada beberapa ulama yang memiliki kemampuan untuk berijtihad dan mengistinbatkan hukum seperti pendahulu mereka. Akan tetapi, mereka sudah menutup celah itu dan merasa cukup dengan apa yang sudah dilakukan oleh pendahulunya yaitu para ulama mazhab. Hal itu disebabkan tingkat ketakwaan dan ke-wara’ an mereka sehingga lebih memilih berputar diatas bahtera fiqih yang sudah ada. Diantara ulama-ulama tersebut adalah Abu Al Hasan Al Karkhi, Abu Bakar Ar-Razi dari kalangan mazhab Hanafi, Ibnu Rusyd Al Qurthubi dari mazhab Maliki, Al Juwaini Imam Al Haramain dan Al Ghazali dari kalangan mazhab Syafi’i.
Walaupun fase ini penuh dengan semangat taqlid, namun sebenarnya masih ada beberapa ulama yang memiliki kemampuan untuk berijtihad dan mengistinbatkan hukum seperti pendahulu mereka. Akan tetapi, mereka sudah menutup celah itu dan merasa cukup dengan apa yang sudah dilakukan oleh pendahulunya yaitu para ulama mazhab. Hal itu disebabkan tingkat ketakwaan dan ke-wara’ an mereka sehingga lebih memilih berputar diatas bahtera fiqih yang sudah ada. Diantara ulama-ulama tersebut adalah Abu Al Hasan Al Karkhi, Abu Bakar Ar-Razi dari kalangan mazhab Hanafi, Ibnu Rusyd Al Qurthubi dari mazhab Maliki, Al Juwaini Imam Al Haramain dan Al Ghazali dari kalangan mazhab Syafi’i.
Dari
penjelasan diatas, dapat kita ketahui bahwa ada sebagian fuqoha yang memiliki
kapasitas untuk memahami, beristinbat, dan berijtihad secara mutlak, namun
mereka lebih memilih untuk ber-taklid dan mengikat pikiran mereka dengan semua
prinsip serta masalah cabang yang ada dalam mazhab. Adapun sebab terjadinya
taqlid adalah sebagai berikut:
1.
Pembukuan Kitab Mazhab
Dalam pembahasan
sebelumnya, kita telah membahas bahwa kebangkitan fiqh Islam telah ditandai
dengan telah ditulisnya fiqh Islam serta dijadikan rujukan dalam menjawab semua
persoalan yang dihadapi masyarakat sehingga sangat mudah untuk diketahui secara
cepat. Sehingga hal tersebut membuat para ulama pada periode ini tidak
mempunyai keinginan untuk berijtihad lagi.
2.
Fanatisme Mazhab
Para ulama pada
masa ini sibuk dengan menyebarkan ajaran mazhab dan mengajak orang lain untuk
ikut dan berfanatik kepada pendapat fuqaha tertentu. Bahkan sampai kepada
tingkat di mana seseorang tidak berani berbeda pendapat dengan imamnya, seakan
keberadaan semuanya ada pada sang guru kecuali beberapa ulama yang tidak
ikut-ikutan seperti Abu Al-Hasan Al-Kurkhiy dari ulama Hanafiyah, bahkan ada
yang berani mengatakan,”Setiap ayat yang bertentangan dengan pendapat mazhab
kami maka ayat itu perlu ditakwilkan atau dihapuskan,” termasuk juga hadis
Nabi. Inilah bentuk pemikiran yang tersebar pada saat itu yang disebabkan oleh
loyalitas kepada imam secara berlebihan, yang kemudian menutup mata mereka dari
Ijtihad.
3.
Jabatan Hakim
Para khalifah
biasanya tidak memberikan jabatan hakim, kecuali kepada mereka yang memang
mampunyai kemampuan dalam bidang ilmu Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW serta
memiliki kemampuan untik berijtihad dan menggali hukum. Dan manhaj para
khalifah dalam meminta para hakim agar dalam memutuskan perkara harus
berdasarkan kepada Al-Qur’an dan sunnah Rasul, dan logika yang dekat dengan
kebenaran. Namun , ketika kondisi sosial sudah berubah bersama pergeseran
waktu, para khalifah lebih mengutamakan para hakim yang hanya bisa bertaqlid,
ikut pada mazhab tertentu yang sudah ditetapkan oleh khalifah. Inilah salah
satu penyebab mengapa orang yang akan menjabat sebagai hakim harus mengikuti
salah satu mazhab dan tidak melangkahinya.
4.
Ditutupnya Pintu
Ijtihad
Petaka besar
menimpa Fiqih Islam pada periode ini, dimana kesucian ilmu ternodai,
orang-orang berani berfatwa, menggali hukum sedangkan mereka sangat jauh dari
pemahaman terhadap kaidah dan dalil-dalil Fiqih yang pada akhirnya mereka
berbicara tentang agama tanpa Ilmu. Keadaan ini memaksa para penguasa dan ulama
untuk menutup pintu ijtihad pada pertengahan abad keempat hijriah agar mereka
mengklaim diri sebagai mujtahid tidak bisa bertindak leluasa dan menyelamatkan
masyarakat umum dari fatwa yang menyesatkan. Akan tetapi sangat disayangkan,
larangan ini telah memberi efek yang negatif terhadap Fiqih Islam sehingga
menjadi jumud dan ketinggalan zaman. Seharusnya para fuqoha periode ini
meletakkan beberapa aturan yang bisa digunakan untuk membantah pendapat ulama
gadungan tersebut. Salah satunya dengan menjelaskan dalil dan bukti yang
menyingkap aib mereka didepan orang banyak, dan melarang masyarakat untuk
mengikutinya karena fatwa mereka tanpa ilmu dan menyesatkan dan bukan menutup
pintu ijtihad. Andaikan hal ini mereka lakukan , niscaya mereka telah
memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan fiqih Islam dan lebih baik
dari pada menutup pintu ijtihad sama sekali.
DAFTAR PUSTAKA
As-sayis, Syekh
Muhammad Ali, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 1995
…………………………………, Tarikh
Al-Fiqh al-Islam, Jakarta : Akademika Presindo, 1996
DR. Rasyad Hasan
Khalil, Tarikh Tasyri’ ( Sejarah Legislasi Hukum Islam ), diterjemahkan
ol eh Dr. Nadirsyah Hawari, M.A ( Jakarta: Amzah, 2009 )
Jaih Mobarok, Kodifikasi
hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002.
Muh, Dr. Zuhri, Hukum
Islam dalam Lintasan Sejarah, PT. Rajagrafindo Husada, 1996. Cet. 1
Prof.
Dr. H. Suparman Usman, S.H, Hukum Islam, ( Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2002 )
Daud Ali, Muhammad. Hukum
Islam (Pengantar Ilmu dan Tata Hukum Islam di Indonesia). Jakarta: PT.
Grafindo Persada. 1999
Harjono, Anwar. Hukum Islam
(Keluasan dan Keadilan). Jakarta: Bulan Bintang. 1987
Pulungan Suyuthi. Fiqih
Siyasah (Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran). Jakarta: PT. Grafindo Persada. 1999
Zuhri Muhammad, Tarikh Al Tasyri’ Al Islami, Darul Ikhya’, Semarang,
1980
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !