BAB
I
PENDAHULUAN
Sebelum Indonesia merdeka,
sudah ada hukum tertulis tentang perkawinan bagi golongan-golongan tertentu.
Yang menjadi masalah waktu itu adalah bagi bumi putra yang beragama Islam. Bagi
mereka tidak ada aturan sendiri yang mengatur tentang perkawinan, tidak ada
undang-undang tersendiri yang dapat dijadikan patokan dalam pelaksanaan akad
nikah perkawinannya. Bagi mereka selama itu berlaku hukum Islam yang sudah
diresipil dalam hukum adat berdasarkan teori recepti yang dikemukakan oleh Hurgronye,
Ter Haar, dan Vollen Hoven.
Menurut Undang-Undang No. 1
tahun 1974 tentang Perkawinan pada “BAB 1 DASAR PERKAWINAN” pasal 1 dinyatakan
bahwa: “perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga/rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. (Anonimous,
2004: 8). Perkawinan bukan hanya mempersatukan dua pasangan manusia, yakni
laki-laki dan perempuan, melainkan mengikatkan tali perjanjian yang suci atas
nama Allah, bahwa kedua mempelai berniat membangun rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, warahmah. Untuk mewujudkan cita-cita kehidupan keluarga tersebut,
perkawinan tidak cukup hanya bersandar pada ajaran-ajaran Allah dalam Al-Qur’an
dan As-Sunnah yang sifatnya global, tetapi perkawinan berkaitan pula dengan
hukum suatu negara. Perkawinan dinyatakan sah jika menurut hukum Allah dan
hukum negara telah memenuhi hukum dan syarat-syaratnya.
BAB
I
PEMBAHASAN
A.
Pencegahan Perkawinan
Dalam Undang-Undang No. 1
tahun 1974 tentang Perkawinan pada Bab III “PENCEGAHAN PERKAWINAN” Pasal 13
dinyatakan bahwa: perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Syarat-syarat perkawinan
yang dimaksud adalah segala hal yang berkaitan dengan rukun dan syarat sahnya
perkawinan serta persyaratan yang diatur oleh undang-undang, salah satunya
adalah harus memenuhi semua unsur legal formal dari Undang-Undang No.1 tahun
1974 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.9 tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang No.1 tahun 1974.
Di dalam Pasal 14
dikemukakan sebagai berikut:
- Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah satu calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
- Mereka yang tersebut pada ayat (1) Pasal ini juga berhak mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata menyebabkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) Pasal ini.
Perkawinan yang harus
dicegah, sebagaiman yang telah dijelaskan sebelumnya, adalah perkawinan yang
menyimpang dari undang-undang yang berlaku. Di antara perkawinan yang marak
dilakukan adalah: perkawinan di bawah tangan, perkawinan agama, perkawinan
sirri, perkawinan mut’ah/kawin kontrak, dan sejenisnya.
Nikah sirri, meskipun
hukumnya boleh dan sah menurut pendapat para fuqoha atau fiqh, namun
bertentangan dengan undang-undang, maka perkawinan tersebut harus dicegah.
Nikah sirri sering dilakukan dengan berbagai alasan, di antaranya adalah:
- Kedua pasangan takut berbuat zina
- Kedua pasangan tidak mau berterus terang kepada kedua orangtuanya
- Kedua pasangan telah berbuat zina dan mengaku telah nikah sirri
- Kedua pasangan tidak direstui oleh satu atau kedua orangtuanya
- Kedua pasangan sering berganti-ganti pasangan
- Kedua pasangan terlalu menyepelekan syariat Islam dan undang-undang yang berlaku
Secara sosiologis perkawinan
secara sirri tidak berbeda dengan kumpul kebo karena hidup bersama yang
dilakukan oleh kedua pasangan suami istri yang ilegal tersebut tidak memperdulikan
hukum sosial yang berlaku. Padahal dalam ajaran Islam, setiap perkawinan
sebaiknya diumumkan agar masyarakat dan yang terpenting saudara dekat, para
kerabat mengetahui secara pasti dan meyakinkan sehingga tidak menimbulkan
fitnah. Akan tetapi, jika pergaulan antara laki-laki dan perempuan terlampau
melewati batas, dan keduanya takut berbuat zina, nikah sirri secara teologis
merupakan upaya menyelamatkan diri dari azab Allah. Oleh sebab itu, dapat
dilakukan dengan pertimbangan untuk menghindarkan diri dari kerusakan. Dalam
kaidah ushul fiqh dinyatakan “dar-u al-mafasid muqadamun min jalb
al-mashalih” artinya meniadakan kerusakan lebih didahulukan daripada
menarik kemaslahatan.
Menurut Ahmad Rofiq,
pencatatan perkawinan bagi sebagian masyarakat tampaknya masih perlu
disosialisasikan. Boleh jadi hal ini terjadi akibat pemahaman yang fiqh
sentris, yang dalam kitab fiqh hampir tidak pernah dibicarakan, sejalan dengan
situasi dan kondisi waktu kitab fiqh itu ditulis. Namun apabila kita coba
perhatikan ayat al Mudayanah (Q.S al Baqarah: 282) yang berbunyi:
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu),
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya
atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu), jika tidak ada dua oang
lelaki, maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang
kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.
Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil,
dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai
batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih
menguatkan persaksian dan lebih dekat agar tidak menimbulkan keraguanmu.
(Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, jika kamu tidak
menulisnya dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu dan bertakwalah kepada
Allah, Allah mengajarmu, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (Q.S al
Baqarah: 282).
Ayat di atas mengisyaratkan
bahwa pencatatan didahulukan daripada kesaksian, yang dalam perkawinan menjadi
rukunnya tetapi sangat disayangkan, tidak ada sumber-sumber fiqh yang
menyebutkan mengapa dalam hal pencatatan perkawinan dan membuktikannya dengan
akta nikah, tidak dianalogikan dengan ayat di atas. Pemerintah mengatur
pencatatan dalam pernikahan adalah sesuai dengan epistimologi hukum Islam
dengan metode istishlah atau maslahat. Meskipun secara formal tidak ada
ketentuan ayat atau sunnah yang memerintahkan pencatatan, kandungan maslahatnya
sejalan dengan tindakan syara’ yang ingin mewujudkan kemaslahatan bagi manusia.
B.
Pembatalan Perkawinan
Dalam Undang-Undang No.1
tahun 1974 tentang Perkawinan pada “BAB IV BATALNYA PERKAWINAN” Pasal 22
dikatakan bahwa: Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi
syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Syarat-syarat perkawinan
yang dimaksud adalah persyaratan usia kedua calon mempelai, persyaratan
kerelaan kedua calon mempelai, persyaratan izin orangtua kedua mempelai,
persyaratan administrasi, dan sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya
berkaitan dengan rukun dan syarat-syarat sahnya perkawinan menurut
Undang-Undang No.9 tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam.
Dalam Pasal 23 dinyatakan
bahwa yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu:
- Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri
- Suami atau istri
- Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan
- Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Pasal 27:
- Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum
Pasal 28:
- Batalnya suatu perkawina dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
- Keputusan tidak berlaku surut kepada:
a)
Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan
tersebut
b)
Suami atau istri yang bertindak dengan
itikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan
didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu
c)
Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk
dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum
keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Suatu perkawinan tidak dapat
dinyatakan batal begitu saja, kecuali ada yang mengajukan pembatalannya melalui
pengadilan. Oleh sebab itu, perkawinan yang telah berlangsung meskipun
menyimpang dari undang-undang, tetap sah menurut hukum Islam. Menurut para
fuqoha dapat dilegalisasi oleh pengajuan buti-bukti surat keterangan tentang
telah terjadinya perkawinan untuk diaktakan oleh pegawai pencatat nikah. Jika
perkawinan yang dmaksudkan diajukan pembatalannya oleh pihak-pihak yang
dinyatakan memiliki wewenang dan diputuskan oleh pengadilan tentang batalnya
perkawinan tersebut, kedua mempelai dapat melakukan perkawinan ulang
sebagaimana perkawinan yang harus mengikuti prosedur yang berlaku dan
dibenarkan oleh undang-undang.
Perkawinan dalam Islam bukan
semata-mata hubungan atau kontrak keperdataan biasa, tetapi mempunyai nilai
ibadah, sebagaimana dalam KHI ditegaskan bahwa perkawinan sebagai akad yang
sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan pelaksanaannya merupakan ibadah
sesuai dengan Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam.
Dalam KHI dijelaskan bahwa
perkawinan dilakukan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah dan warahmah. Dengan demikian, perlu adanya aturan dengan
syarat dan rukun tertentu agar tujuan perkawinan yang dimaksud tercapai.
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa rukun dalam suatu perbuatan harus
terpenuhi demi terlaksananya suatu perbuatan. Rukun adalah sesuatu yang harus
ada untuk sahnya suatu perbuatan dan menjadi bagian dari perbuatan tersebut.
Dalam KHI rukun nikah terdapat dalam bab IV bagian kesatu Pasal 14 yang berisi:
“untuk melaksanakan perkawinan harus ada: (a) calon suami, (b) calon istri, (c)
wali nikah, (d) dua orang saksi, (e) ijab dan qabul”. Rukun nikah yang
terakhir, yaitu ijab dan qabul merupakan rukun yang paling pokok, karena
merupakan simbol keridaan laki-laki dan perempuan untuk mengikat hidup
berkeluarga. Selain ijab dan qabul, keberadaan wali nikah pun sangat berperan
penting. Walau Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur
masalah wali nikah secara eksplisit, hanya dalam Pasal 26 Ayat (1) dinyatakan
bahwa perkawinan yang dilangsungkan di muka Pegawai Pencatat Nikah yang tidak
berwenang, wali nikah yang tidak sah atau perkawinan yang tidak dihadiri oleh
dua orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh pihak keluarga dalam garis
lurus ke atas dari suami istri. Secara implisit bunyi Pasal 26 Undang-Undang
No.1 tahun 1974 ini mengisyaratkan bahwa perkawinan yang tidak dilaksanakan
oleh wali, maka perkawinan tersebut batal atau dapat dibatalkan. Jadi,
ketentuan ini dapat dikembalikan kepada Pasal 26 Undang-Undang No.2 tahun 1974
tentang Perkawinan, dimana ditegaskan bahwa ketentuan hukum agama adalah
menjadi penentu dalam sah tidaknya suatu akad perkawinan. Ketentuan ini
dpertegas lagi oleh Pasal 19 KH yang menyatakan bahwa wali dalam suatu akad
perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi oleh calon mempelai wanita yang
bertindak untuk menikahinya.
Jika ditinjau dari
perspektif KHI, di dalam pasal 70 KHI dinyatakan perkawinan batal (batal demi
hukum) apabila :
a)
Suami melakukan perkawinan, sedang
ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mermpunyai ermpat orang
isteri, srekalipun salah satu dari keermpat isterinya itu dalam iddah talak
raj’i.
b)
Seseorang menikahi bekas istrinya yang
terlah dili’annya
c)
Seseorang menikahi bekas istrinya yan
yang terlah dijatuhi tiga talak olehnya, kecuali bila bekas istrinya tersebut
pernah menikah dengan pria lain yang kermudian bercerai lagi ba’da dukhul dari
pria terserbut dan telah habis masa iddahnya.
d)
Perkawinan di lakukan antara dua
orang yang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan sesusuan sampai derajat
tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-Undang No.1 Tahun
1974, yaitu:
1.
Berhubungan darah dalam garis lurus ke
bawah atau ke atas.
2.
Berhubungan darah dalam garis lurus
keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang
tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
3.
Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak
tiri, menantu, dan ibu dan ayah tiri.
4.
Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua
sesusuan, anak sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.
e)
Istri adalah saudara kandung atau sebagai
bibi atau kemenakan dari istri atau istri-istrinya
Selanjutnya pada pasal 71
dijelaskan perkawinan yang dapat dibatalkan apabila:
- Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama
- Perempuan yang dikawini ternyata dikemudian diketahui masih menjadi istri pria yang mafqud
- Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain.
- Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan pasal 7 Undang-undang No.1 Tahun 1974.
- Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak.
- Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Pasal 72
- Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.
- Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri
Selanjutnya berkenaan dengan
pihak-pihak yang dapat membatalkan perkawinan adalah pasal 73 yang berbunyi:
yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah:
- Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau istri.
- Suami atau istri.
- Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-undang.
- Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum islam dan peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67.
Menyangkut saat mulai
berlakunya pembatalan perkawinan tampaknya bunyi pasal KHI sama dengan UUP.
Pasal 74 ayat 2
Batalnya suatu perkawinan
dimulai setelah keputusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap
dan berlaku sejak saaat berlangsungnya perkawinan.
Jelaslah bahwa KHI secara
eksplisit mengandung dua pengertian pembatalan perkawinan yaitu perkawinan
batal demi hukum yang seperti termuat dalam pasal 70 dan perkawinan yang dapat
dibatalkan (relative) seperti yang terdapat pada pasal 71.
Akibat pembatalan perkawinan
pun dibahas dalam UU No.1/1974 pasal 28 ayat(2), sedangkan jika kita tilik
sesuai KHI seperti terdapat padda pasal 75 dan 76.
Pasal 75 KHI
Keputusan pembatalan
perkawinan tidak berlaku surut terhadap:
- Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami istri murtad.
- Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut
- Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beritikad baik sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Pasal 76 KHI
Batalnya suatu perkawinan
tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.
Dengan demikian jelaslah
pembatalan perkawinan tidak berpengaruh terhadap status anak yang telah merekan
lahirkan.
Apabila rukun dan
syarat-syarat pernikahan tidak terpenuhi, perkawinan dapat dicegah dan
dibatalkan, karena perkawinan yang berlangsung dapat menimbulkan kemudharatan
bagi kedua mempelai. Misalnya perkawinan di bawah tangan atau nikah sirri yang
akhirnya pihak mempelai wanita menjadi korban penipuan mempelai pria, dan anak
yang dilahirkan sukar mendapatkan akta kelahiran yang sah, dan hal tersebut
mempermudah terjadinya kawin cerai tanpa disertai dengan keterangan dan bukti
tertulis yang jelas. Status pihak mempelai wanita bukan janda dan juga bukan
perawan.
BAB
III
PENUTUP
Aturan-aturan perkawinan
yang secara garis besar termuat didalam rukun dan syarat-syaratnya merupakan
pagar yang membatasi setiap orang untuk melakukan perkawinan terlarang. Seorang
laki-laki yang akan menikah dengan seorang perempuan harus memeriksa apakah
antara dirinya dan perempuan itu terdapat faktor-faktor penghalang (mawani’)
atau tidak. Di samping itu posisi saksi menjadi sangat menentukan.
Berbeda dengan hukum Islam,
hukum perdata tampaknya mengenal istilah pencegahan perkawinan apabila terdapat
syarat-syarat yang tidak terpenuhi. Didalam hukum perdata, pencegahan mungkin
terjadi karena alat kontrolnya yang sangat lemah. Oleh J.Prins, institusi
pencegahan inilah yang diambil oleh UUP dan diikuti oleh KHI. Menurut T.
Jafizham untuk terjadinya pencegahan perkawinan maka terlebih dahulu harus ada aangisfte
(pemberitahuan), afkondiging (pengumuman), dan stuiting (pencegahan).
Sama dengan Prins, Jafizham mengatakan dimuatnya pasal-pasal pencegahan di
dalam UUP dan KHI adalah mengadopsi hukum perdata Barat.
Institusi pembatalan
perkawinan itu tetap penting baik di dalam UUP ataupun KHI karena akarnya ada
di dalam kitab-kitab fikih. Hanya saja yang menjadi persoalan di dalam fikih
pembahasannya nikah fasid atau nikah yang batal ini termasuk di dalam lingkup al-Muhararamat
min al-Nisa’ (wanita-wanita yang haram dinikahi). Dengan kata lain nikah
fasid sama dengan larangan perkawinan.
Sedangkan di dalam KHI
masalah ini dibahas secara terpisah. Tidak ada perbedaan yang substansial
aturan KHI yang terdapat dalam 39-44 Bab VI tentang larangan kawin dengan pasal
70-76 bab XI tentang batalnya perkawinan, khususnya yang berkenaan dengan
perkawinan yang dapat dibatalkan. Bedanya hanya pada akibat yang ditimbulkan
dari sebuah proses pembatalan. Sebaiknya pasal-pasal pembatalan perkawinan
disatukan dengan pasal larangan kawin.
DAFTAR PUSTAKA
Drs.
Ahmad Saebani, Beni Dkk. Hukum Perdata Islam di Indonesia, Bandung: CV.
Pustaka Setia. 2011
Dr.H.
Amiur Nururudin, MA,dkk. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.2004
Dr.
H. Manan Abdul, S.H., S.IP., M. Hum., Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Jakarta: Kencana. 2006
Prof.Dr.
H. Zainudin Ali,MA. Hukum Perdata Islam Indonesia .Jakarta: Sinar Grafika.
2006
Prof.
Dr. Nasution Khoirudin, MA., Hukum Perkawinan, Yogyakarta: ACAdeMIA +
TAZZAFA. 2005
Prof.
Dr. T. Jafizham, S.H., Persintuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum
Perkawinan Islam, Jakarta: PT. Mestika. 2006
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !