BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-qur’an,
keberadaan hadits, di samping telah mewarnai masyarakat dalam berbagai bidang
kehidupannya, juga telah menjadi bahasan kajian yang menarik, dan tiada
henti-hentinya. Penalitian terhadap hadits baik dari segi keotentikannya,
kandungan makna dan ajaran yang terdapat di dalamnya, macam-macam tingkatan
maupun fungsinya dalam menjelaskan kandungan Al-qur’an dan lain sebagainya
telah banyak dilakukan para ahli di bidangnya.
Hasil-hasil penelitian dan kajian para ahli tersebut selanjutnya telah
didokumentasikan dan dipublikasikan baik kepada kalangan akademis di
perguruan-perguruan tinggi, bahkan madrasah maupun pada masyarakat pada
umumnya. Bagi kalangan akademis, adanya berbagai hasil penelitian hadits
tersebut telah membuka peluang untuk diwujudkannya suatu disiplin kajian Islam,
yaitu Bidang Studi Hadits.
Mengingat pentingnya kedudukan hadits dalam syariat islam dan fungsinya
terhadap Al-Qur’an, para sahabat memberikan perhatian terhadap hadits-hadits
Nabi dan berusaha keras untuk memperolehnya sebagaimana sikap mereka terhadap
Al-Qur’an. Mereka menghafalkan lafaz-lafaz hadits atau maknanya, memahami dan
mengetahui maksud tujuannya, dengan berdasarkan naluri yang mereka miliki,
berdasarkan petunjuk-petunjuk Rasul yang mereka dengar, perbuatan dan
perilakunya yang mereka saksikan dan berdasarkan pengetahuan mereka mengenai
situasi dan kondisi yang melatarbelakangi diucapkannya hadits-hadits itu. Dan
hadits-hadits yang sulit dipahami atau tidak diketahui maksudnya, mereka
tanyakan langsung kepada Nabi SAW.
BAB II
A. PENGERTIAN HADITS
Pada garis besarnya pengertian hadits dapat dilihat melalui dua
pendekatan, yaitu pendekatan kebahasaan (linguistik),
dan pendekatan Istilah (terminologis).
1. Dilihat dari pendekatan kebahasaan,
hadits berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata hadatsa, yahdutsu, hadtsan, haditsan, dengan pengertian yang
bermacam-macam. Kata tersebut misalnya dapat berarti al-jadid min al-asy ya’ sesuatu yang baru, sebagai lawan dari kata al-qadim yang artinya sesuatu yang
sudah kuno atau klasik. Penggunaan kata al-hadits dalam arti demikian dapat
kita jumpai pada ungkapan hadits al-bina
dengan arti jaded al-bina artinya
bangunan baru.
2. Selanjutnya, kata al-hadits dapat pula berarti al-qarib
yang berarti menunjukkan pada waktu yang dekat atau waktu yang singkat. Untuk
ini kita dapat melihat pada contoh hadits
al-’ahd bi al-Islam yang berarti orang yang baru masuk Islam.
3. Kata al-hadis
kemudian dapat pula berarti al-khabar
yang berarti mayutahaddats bih wa yunqal,
yaitu sesuatu yang diperbincangkan, dibicarakan atau diberitakan, dan dialihkan
dari seseorang kepada orang lain.
Dari ketiga arti kata al-hadits tersebut, nampaknya yang banyak digunakan
adalah pengertian yang ketiga, yaitu sesuatu yang diperbincangkan atau al-hadits dalam arti al-khabar. Misalnya ayat-ayat yang
mengandung kata al-hadits dalam arti al-khabar berikut ini.
“Maka hendaklah mereka mendatangkan khabar
(berita) yang serupa dengan Al-qur’an itu jika mereka mengaku orang-orang yang
benar”. (QS Al-Thur, 52:34).
Selanjutnya hadits dilihat dari segi pengertian istilah dijumpai pendapat
yang berbeda-beda. Hal ini antara lain disebabkan karena perbedaan cara pandang
yang digunakan oleh masing-masing dalam melihat suatu masalah. Para ulama ahli
hadits misalnya berpendapat bahwa hadits adalah ucapan, perbuatan dan keadaan
Nabi Muhammad SAW. Sementara ulama ahli hadits bukan hanya perkataan,
perbuatan, dan ketetapan Rasulullah SAW, akan tetapi termasuk perkataan,
perbuatan, dan ketetapan para sahabat dan tabi’in. Dari pada itu ulama ahli
ushul fiqih berpendapat bahwa hadits adalah perkataan, perbuatan, dan ketetapan
Rasulullah SAW yang berkaitan dengan hukum. Ulama ahli fiqih mengidentikkan
hadits dengan sunnah, yaitu sebagaisalahsatudarihukum taklifi, suatu perbuatan apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala
dan apabila ditinggalkan tidak akan disiksa.
B. MODEL-MODEL
PENELITIAN HADITS
1. Model H.M. Quraish Shihab
Penelitian yang dilakukan Qurais Shihab terhadap hadits menunjukkan
jumlahnya tidak lebih banyak jika dibandingkan dengan penelitian terhadap
Al-qur’an. Dalam bukunya berjudul Membumikan
Al-Qur’an, Quraish Shihab hanya meneliti dua sisi dari keberadaan hadits,
yaitu mengenai hubungan hadits dan Al-qur’an serta fungsi dan posisi sunnah
dalam tafsir.
2. Model Musthafa Al-Siba’iy
Musthafa Al-Siba’iy yang dikenal sebagai tokoh intelektual Muslim dari
Mesir dan disebut-sebut sebagai pengikut gerakan ikhwanul muslimin. Hasil penelitian yang dilakukan Musthafa
Al-Siba’iy antara lain mengenai sejarah proses terjadinya dan tersebarnya
hadits mulai dari Rasulullah sampai terjadinya upaya pemalsuan hadits dan usaha
para ulama untuk membendungnya, dengan melakukan pencatatan sunnah, kitab-kitab
tentang hadits-hadits palsu, para pemalsu, dan penyebarannya.
3. Model Muhammad Al-Ghazali
Muhammad Al-Ghazali adlah salah seorang ulama lulusan Universitas
Al-Azhar Mesir yang disegani di dunia Islam, khususnya Timur Tengah, dan salah
seorang penulis Arab yang sangat produktif. Penelitian hadits yang dilakukan
Muhammad Al-Ghazali termasuk penelitian eksploratif, yaitu membahas, mengkaji,
dan mendalami sedalam-dalamnya berbagai persoalan aktual yang muncul di
masyarakat untuk kemudian diberikanstatus hukumnya dengan berpijak pada konteks
hadis tersebut.
Corak penyajiannya masih bersifat deskriptif analitis. Yakni
mendeskripsikan hasil penelitian sedemikian rupa, dilanjutkan menganalisisnya
dengan menggunkan pendekatan fiqih, sehingga terkesan ada misi pembelaan dan
pemurnian ajaran Islam dari berbagai paham yang dianggapnya tidak sejalan
dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang mutawatir. Ia menjelaskan tentang kesahihan
hadits dan persyaratannya, ia mengemukakan tentang mayit yang diazab karena
tangisan keluarganya.
4. Model Zain Al-Din ‘Abd Al-Rahim Bin
Al-Iraqiy
Ia disebut sebagai penganut mazhab syafi’I, belajar di Mesir. Zain Al-Din
‘Abd Al-Rahim Bin Al-Iraqiy dikenal menguasai ilmu al-nahwu (gramatikal), ilmu qira’at dan hadits. Mengingat sebelum zaman
Al-Iraqy belum ada hasil penelitian hadits, maka nampak ia berusaha membangun
ilmu hadits dengan menggunakan bahan-bahan hadis nabi serta berbagai pendapat
para ulama. Penelitiannya bersifat awal, yaitu penelitian yang ditujukan untuk
mengemukan bahan-bahan untuk digunakan membangun ilmu. Buku inilah untuk
pertama kali mengemukakan macam-macam hadits yang didasarkan pada kualitas
sanad dan matannya, yaitu ada hadits yang tergolong sahih, hasan, dan dhaif.
Dilihat pula dari keadaan bersambung atau terputusnya sanad yang dibaginya
menjadi hadits musnad, muttasil, marfu’,
mauquf, mursal, dan al-mungatil. Selanjutnya, dilihat pula dari keadaan
kualitas matannya yang dibagi menjadi hadits yang syadz dan munkar.
5. Model Penelitian Lainnya
Model penelitian diarahkan pada fokus kajian aspek tertentu saja.
Misalnya, Rif’at Fauzi Abd Al-Muthallib pada tahun 1981, meneliti tentang
perkembangan Al-Sunnah pada abad ke-2 Hijriah. Maka kini ilmu hadits tumbuh
menjadi salah satu disiplin ilmu keislaman. Penelitian yang masih ada
hubungannya dengan berbagai masalah aktual tampak masih terbuka luas. Berbagai
pendekatan dalam memahami hadits juga belum banyak digunakan. Misalnya,
pendekatan sosiologis, ekonomi, politik dan lain-lain. Akibatnya dari keadaan
demikian, tampak bahwa pemahaman masyarakat terhadap hadits pada umumnya masih
bersifat pasif.
C.
MENENTUKAN STATUS HADITS
Langkah awal para ulama dalam menetapkan ke-shahihan dan kelemahan suatu
hadits , adalah menentukan prinsip-prinsip dasar suatu hadits sebagai cara
untuk melakukan elaborasi terhadap keberadaan . Langkah ini memungkinkan
terjadinya perbedaan nuansa antara ulama yang satu dengan yang lain. Dan dalam
beberapa hal, nuansa perbedaan tersebut juga terimbas dalam menetapkan status
suatu hadits. Untuk menghindari kekeliruan mengatasnamakan nabi, ulama
memilah kepada yang dapat dijadikan hujjah (shahih dan hasan) dan yang tidak dapat dijadikan hujjah (dla’if).
1. Prinsip Ijtihad
Prinsip ijtihad sebenarnya bukan monopoli karena ulama
sebelum dan sesudahnya juga telah menggunakan istilah ijtihad dalam menentukan
shahih tidaknya suatu hadits. Dalam melakukan ijtihad-nya, ulama hadits
menggunakan dua pendekatan; pendekatan sanad dan matan. Sanad merupakan mata
rantai (transmisi) hadits yang terdiri
dari orang-orang yang meriwayatkan hadits sampai Nabi. Sedangkan matan hadits
adalah redaksi hadits itu sendiri yang berupa sabda, perbuatan, dan
pengakuannya.
2. Prinsip Status Sanad
Hadits yang dihimpun ulama baru ditulis secara intensif sejak
diedarkan surat perintah ‘Umar Bin ‘Abd Al-‘Aziz kepada para gubernur khususnya
di Madinah. Tradisi ini berjalan sampai para pencatat hadits abad ke-5 H. sejak
zaman Rasul hingga para rawi itu,
diperlukan transmisi yang meyakinkan bahwa hadits itu musnad, muttashil, dan marfu’
kepada Nabi. Kedudukan sanad sangat penting dalam memelihara ke-shahih-an hadits, sehingga muncul
postulat-postulat yang berkaitan dengannya. Postulat tersebut didasari oleh
keyakinan bahwa mengatasnamakan Rasulullah SAW harus ekstra hati-hati.
Postulat
yang dibangun ulama yang berkaitan dengan sanad,
antara lain sebagai berikut:
a. Sanad
adalah Ajaran Agama
Rasulullah SAW sendiri sudah memperingatkannya sejak dini
bahwa mengatasnamakannya tanpa dasar merupakan dosa dan pelakunya akan masuk
neraka. Para sahabat pun sangat hati-hati dalam menisbahkan sesuatu kepada
Nabi. Para sahabat pula yang pertama kali menuntut harus ada saksi (syahid), keterangan (bayan) dan sumpah jika seseorang berani
menisbahkan sesuatu kepada Nabi.
b. Sanad
adalah Perantara
Suatu riwayat atau berita antara suatu generasi dengan
generasi lainnya adalah sanad.
c. Sanad
adalah Pangkal Kebenaran
Sangat
berbahaya jika mencari ilmu tidak diketahui dengan jelas sumbernya.
Kutiap-kutipan ilmiah baru akan dipercaya jika bersumber dari orang-orang yang
layak, sesuai dengan profesinya dan memiliki kemampuan lebih dari yang lainnya,
baik pribadinya maupun ilmiahnya.
d. Sanad
adalah Standar Ilmiah
Untuk memperoleh sanad yang shahih ulama hadits menyusun
berbagai macam kaidah yang menurut anggapannya dapat menentukan status suatu
hadits. Dalam menentukan kaidah-kaidah ini, ulama menentukan kaidah-kaidah yang
berkaitan bersambung dan tidaknya suatu sanad, seperti, musnad, marfu’, mursal dan sebagainya. Jumlah kaidak-kaidah
tersebut antara ulama yang satu dengan ulama yang lainnya berbeda-beda.
3. Prinsip Status Matan
Ke-shahih-an hadits tidak hanya berpegang teguh pada riwayat,
tetapi juga pada matan (redaksi)
hadits itu karena sebagai manusia bisa tidak lepas dari kesalahan. Untuk
mengetahui shahih tidaknya matan hadits, maka bukan hanya hadits itu
dikomparasikan dengan hadits lainnya, tetapi juga matan hadits tersebut perlu
dikomparasikan dengan Al-Qur’an. Bila tampak matan (redaksi) hadits ada pertentangan, maka status
hadits tersebut bisa dianggap dla’if,
sehingga tidak bias dijadikan hujjah. Hasil komparasi tersebut bisa merupakan
hadits mansukh (dihapus) oleh Al-Qur’an atau dihapus oleh hadits lainnya. Salah
satu contoh hadits yang dihapus oleh Al-Qur’an ialah riwayat yang diterangkan
oleh imam al-bukhari tentang shalat yang dilakukan Rasulullah menghadap ke Bayt
Al-Maqdis.
4. Kaidah Sanad dan Matan Hadits
Hadits yang dihimpun oleh ulama memiliki keanekaragaman dan
keberadaan sanad serta matan yang berbeda-beda. Dalam keaneka ragaman sanad,
seringkali para penghimpun menggunakan sanad yang dekat (ali) dan seringkali menggunakan sanad yang jauh (nazil). Juga seringkali terjadi hadits
yang sanad, hadits ditemuinya bersambung kepada nabi dan juga adakalanya hanya
sampai tingkat sahabat, tabi’in, atau
sampai ke atba’ tabi’in. matannya,
adakalanya lurus (tidak ada matan lain yang berlawanan dengan matan tersebut)
dan seringkali mulus lafal-lafalnya (tidak ada perubahan lafal-lafalnya).
a. Jauh dan dekatnya sanad
Landasan metodologis yang digunakan Al-Hakim Rasulullah SAW
pernah didatangi seseorang yang menanyakan tentang iman, kerasulan, shalat,
sadaqah, puasa, dan haji, padahal ia sendiri sudah mendengar dari orang lain
yang menyampaikan kepadanya.
b. Bersambung tidaknya sanad
Perkataan, perbuatan, dan pengakuan yang
dinisbatkan kepada Rasulullah, seringkali bersambung langsung kepada nabi dan
seringkali tidak bersambung langsung. Ulama hadits menelaah bersambung dan
terputusnya transmisi ini sampai kepada yang sekecil-kecilnya. Jika sanad itu
bersambung, ulama juga melakukan penelitian kepada siapa saja orang-orang yang
tercantum pada sanad tersebut. Dan jika sanad itu terputus, harus ditunjukkan
dimana letak terputusnya, pada tingkat sahabat,
tabi’in, atau atba’ tabi’in. istilah teknis yang berkaitan dengan terputus
tidaknya suatu sanad hadits adalah musnad,
mawquf, mursal, munqathi’, dan
mu’dlal.
1. Hadits Musnad
Hadits musnad yaitu hadits yang diriwayatkan oleh ahli hadits
yang menerimanya dari syaykh atau guru
hadits yang jika dilihat secara sepintas, antara guru-guru hadits di setiap
generasi itu, satu sama lain pernah berguru dan mendengarnya karena
dimungkinkan oleh hidupnya yang semasa. Kemudian proses selanjutnya, riwayat
yang dibawakannya bersambung kepada sahabat yang masyhur, kemudia, ia menyandarkannya kepada Nabi. Hadits musnad itu
“shahih”, dan dapat dijadikan hujjah. Untuk membuktikan suatu hadits musnad atau tidak musnad sangat bergantung kepada telaah rawi hadits itu sendiri.
2. Hadits Mawquf
a. Perbuatan Sahabat Rasul
Menurut al-Hakim, orang yang tidak mengetahui hadits akan menduga bahwa
hadits itu musnad karena menyebut sahabat rasulullah, padahal hanya perbuatan
sahabat belaka ketika mereka bertamu. Jadi, tidak selamanya perkataan yang menyebut
nama rasul merupakan hadits musnad. Demikian
juga termasuk mawquf jika dikatakan,
“ia (sahabat) mengatakan ini dan itu, melainkan ini dan itu, menyuruh ini dan
itu”.
b. Penafsiran Sahabat.
Penafsiran sahabat termasuk kategori hadits mawquf. Jadi
dalam term al-Hakim ada hadits yang dilihat dari sisi luarnya dan dilihat juga
sisi hakikatnya. Dilihat dari luarnya hadits itu mawquf, tetapi hakikatnya
mursal karena tidak adanya bukti bahwa tabi’in yang meriwayatkan perkataan itu
menerima dari sahabat Nabi. Term ini tidak dibahas secara rinci oleh ulama
lainnya. Dalam aspek ini al-Hakim lebih rinci dan lebih rinci dan lebih jeli
dari ulam lainnya.
BAB III
A. Hadits Dilihat dari Aspek Kuantitas Ra’wi’
1. Mutawatir
Al-hakim tidak mendefinisikan hadits mutawathir secara eksplisit; hanya
menunjuk hadits tertentu yang dianggapnya mutawathir, seperti diisyaratkan
tentang larangan mendustakan Nabi. Konsep mutawathir ini baru secara
definitive dikemukakan Al-Baghdadi, meskipun Al-Syafi’i, ulama sebelumnya sudah
mengisyaratkan dengan istilah “khabar
‘ammah”. Menurut Al-Baghdadi, hadits mutawathir adalah “suatu hadits yang
diriwayatkan oleh sekelompok orang dengan jumlah tertentu yang menurut
kebiasaan mustahil mendustakan kesaksiannya. Ibnu shalah mendefinisikan “mutawatir ialah suatu ungkapan tentang
berita yang diriwayatkan oleh orang yang memperoleh pengetahuan, yang
kebenarannya dipastikan dan sanadnya konsisten memenuhi persyaratan tersebut
dari awal sanad sampai akhirnya.
2. Hadits Masyhur
Al-hakim membagi masyhur menjadi dua bagian, yaitu yang shahih dan yang
tidak shahih. Hadits masyhur yang shahih ini ada yang diriwayatkan oleh
Al-Bukhari dan Muslim dan ada pula yang tidak. Hadits masyhur itu pun ada yang
hanya diketahui oleh para ahli hadits dan ada yang diketahui orang banyak.
Seperti contoh hadits masyhur yang tidak diriwayatkan dalam kitab shahih:
“Mencari ilmu itu wajib atas setiap muslim”
3. Hadits Gharib
Al-hakim membagi hadits ghorib menjadi tiga bagian, yaitu gharib shahih, gharib al-syuyukh, dan gharib al-mutun. Antara istilah gharib dan istilah tafarrud ada kalanya al-hakim masih ada perdebatan karena ketika
ia menerangkan gharib disebut pula kata
tafarrud (menyendiri). Ini artinya hadits gharib oleh al-hakim ialah hadits
yang diriwayatkannya secara menyendiri. Perbedaannya terletak pada siapa yang
meriwayatkan secara sendiri itu. Jika seorang yang menyendiri itu syaykh
(guru-guru hadits) gharib al-syuyukh;
jika terletak pada perbedaan lafal hadits dari seseorang disebut ghara ‘ib al-mutun. Di antara hadits gharib syuyukh ialah hadits yang
menerangkan “larangan Nabi terhadap pedagang di kota langsung menjual barang ke
desa. Hadits gharib matan, menurut Al-Hakim, sanadnya juga bisa saja gharib.
Contohnya hadits yang menerangkan tentang kekuasaan yang akan di pegang “Ali
bin Abi Thalib.
4. Hadits Afrad atau Fard
Al-Hakim memberikan nuansa tertentu terhadap hadits gharib dan fard, walaupun
kedua-duanya sama-sama mengenai riwayat yang menyendiri. Hadits gharib ini
lebih ditekankan kepada sekelompok orang yang berada di kota tertentu yang
menerima hadits itu dari seorang sahabat, lalu diterima pula dari seorang ulama
terkenal dan hadits yang diterima dari penduduk kota lainnya. Misalnya. Hadits
diriwayatkan oleh penduduk kufah, madinah, hadits diterima dari ulama terkenal
seperti Ibn ‘Uyaynah dari al-Zuhri.
5. Hadits diterima melalui jalur keluarga
Hadits tersebut diriwayatkan oleh sekelompok rawi yang menerima dari para
Imam Hadits. Para imam ini juga menerima dari ayah-ayah mereka dan ayah-ayah
mereka menerima pula dari kakek-kakeknya. Menurut al-hakim, mereka adalah para
sahabat Nabi dan cucu-cucunya orang yang terpercaya; hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh mereka itu tercantum dalam kitab-kitab hadits selain shahih.
Al-Hakim menyatakan bahwa hadits itu disepakati bersama, maksudnya ialah bahwa
orang-orang yang meriwayatkan hadits itu disepakati oleh syaykh dan haditsnya
layak diterima.
B. Hadits Dilihat dari Aspek Kualitas Ra’wi
Dalam menentukan
status hadits al-hakim seringkali menyebut shahih
dan saqim dan seringkali mengatakan shahih dan majruh. Perkataan majruh disini ialah hadits yang rawi-nya tercela
yang tentu akan berimplikasi terhadap ditolaknya hadits yang diriwayatkannya.
Hadits yang perawinya majruh ini
dalam istilah lain ialah hadits dla’if
karena terjadi hadits dla’if antara lain diriwayatkan oleh orang-orang yang
majruh.
Hadits Shahih menurut al-Hakim
Hadits shahih itu adalah hadits yang memiliki
lima persyaratan, yaitu musnad
(bersambung sanadnya), rawi-nya adil,
dlabith, tidak syadzdz, dan tidak ber-‘illah.
v Hadits yang disepakati ke- shahih-annya
Ada lima macam
hadits yang disepakati ke-shahih-annya
a) Hadits shahih menurut kriteria al-Bukhari
dan Muslim
b) Hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi
c) Hadits dari kelompok Tabi’in
d) Hadits fard dan gharib
Hadits fard dan gharib yang disepakati ke-shahihannya adalah hadits yang
diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqah
dan ‘adil.
e) Hadits diterima melalui jalur keluarga
v Hadits yang diperselisihkan ke-shahih-annya
1. Hadits-hadits Mursal
Hadits Mursal ialah
ucapan tabi’in atau atba tabi’in yang langsung dinisbahkan kepada Rasulullah
SAW, padahal jarak antara Rasul SAW dengan mereka mencapai satu abad lamanya,
dan tidak ada rawi-rawi yang menjadi perantara. Adapun alasan mereka menolak
hadits mursal ialah dalam al-Qur’an dengan jelas Allah menerangkan “Perlu
adanya sekelompok orang yang mencari ilmu secara langsung untuk kemudian
diajarkan lagi kepada kaumnya ketika pulang. Dalam menerima hadits mursal
bergantung kepada siapa orang yang me-mursal-kan itu. Jika orangnya jujur dan
terpercaya bisa saja hadits itu dipercaya.
2. Riwayat orang-orang Mudallis
Riwayat orang-orang mudallis
dapat dijadikan hujjah oleh
sekelompok ulama Kufah jika tidak ada riwayat yang sah yang mereka dengar dari
orang lain. Namun, Ulama Madinah menolaknya. Yang dimaksud dengan mudallis ialah Ibnu ‘Uyaynah.
3. Riwayat orang yang Tsiqah
Hadits yang termasuk diperselisihkan oleh ulama adalah yang
diriwayatka oleh orang-orang terpercaya yang diterima dari orang yang
terpercaya pula. Prosesnya adalah hadits diterima dari orang tsiqah, diterima dari seorang Imam yang
diberi sanad olehnya. Kemudian, diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tsiqah
pula, tetapi dengan cara mursal. Hadits yang seperti ini banyak yang dianggap shahih menurut madzhab fuqaha’, tetapi ulama hadits tidak
menerimanya. Tidak selamanya hadits itu di perselisihkan oleh ahli hadits,
tetapi bisa saja suatu hadits disepakati oleh ahli hadits dan ditolak oleh ahli
fiqh atau sebaliknya.
4. Riwayat Ahli Bi’dah
Hadits yang diterima dari ahli bi’dah diperselisihkan oleh
ulama antara diterima dan tidak diterima. Menurut kebanyakan ahli hadits
riwayat mereka boleh diterima dengan syarat orangnya jujur, sebagaimana
dilakukan juga oleh al-Bukhari, Muslim, Ibnu Khuzaymah, dan lain-lain.
Imam Maliki sendiri mengatakan, “Ilmu itu (Hadits) tidak
boleh diambil dari empat golongan, yaitu dari orang safih, pendusta, pengikut aliran hawa nafsu (ahli bi’dah) yang membawa kepada alirannya, dan orang saleh atau
tukang ibadah yang tidak mengetahui hadits.
a. Hadits Dla’if Menurut Al-Hakim
1. Orang yang mendustakan Nabi
Ancaman Nabi SAW atas orang yang mengatasnamakna Nabi,
padahal Rasul tidak mengatakannya. Orang-orang yang melakukan perbuatan
tersebut antara lain adalah orang-orang yang zindiq yang selalu membuat hadits mawdlu’. Yaitu orang zindiq, mengikuti
hawa nafsu, keutamaan amal, menjilat penguasa, orang yang mempertahankan
kehormatan, menggunakan sanad yang shahih
dengan matan yang palsu sebagai penipu.
2. Rekayasa Sanad agar asing bagi pendengar
Orang-orang yang digolongkan majruh adalah orang-oang yang
melakukan rekayasa sanad hadits yang diterima dari rasulullah saw, yaitu dengan
membuat sanad baru. Dengan cara ini ia ingin menempatkan dirinya di jajaran
ahli hadits.
3. Orang yang rakus meriwayatkan sanad
Bagian ini terjadi pada orang yang tergolong ahli ilmu,
tetapi rakus meriwayatkan hadits, yaitu dengan meriwayatkan hadits dari orang
yang tidak diketahui riwayat hidupnya. Seringkali orang semacam itu
meriwayatkan hadits dari orang yang sudah meninggal, padahal ketika
meninggalnya rawi yang mengaku bertemu orang tersebut, belum lahir.
4. Orang yang mengubah perkataan sahabat
Di antara orang yang tercela adalah orang yang mengubah
perkataan sahabat menjadi hadits yang dinisbahkan kepada Nabi, yaitu orang yang
meriwayatkan hadits yang sebenarnya mawquf kemudian dijadikan marfu’.
5. Orang yang sengaja me-mawsul-kan hadits
mursal
Di antara orang yang termasuk dalam kelompok majruh adalah
orang yang dengan sengaja mengubah hadits mursal menjadi mawsul dengan cara
menambah sahabat seperti Ibrahim bin Muhamma al-Maqdisi.
6. Orang-orang saleh dan ahli ibadah
Mereka umumnya orang-orang saleh dan ahli ibadah, tetapi
tidak pernah mengkhususkan dirinya dalam memelihara hadits, seperti menghafal
dan meneguhkan diri pada hadits yang diriwayatkannya.
7. Menggeneraslisasikan Sanad
Tipe rawi hadits seperti ini ialah orang yang menerima hadits
dari guru-gurunya. Kemudian dengan sengaja mereka meriwayatkan hadits yang
tidak pernah didengar dari guru itu. Kesalahan orang seperti itu ialah
meriwayatkan kembali hadits yang tidak didengar kepada orang lain dengan tidak
membedakan hadits yang didengar dari gurunya langsung.
8. Orang-orang yang Lalai Ketika Mendengar
dan Menerima Hadits dari Gurunya
Orang yang termasuk majruh (dicela) riwayatnya adalah orang
yang mendengar hadits dari gurunya, tetapi ia lalai menulis nama-nama rawi yang
disebutkan gurunya, sehingga ia keliru ketika mengulangnya kembali nama dan
umurnya.
9. Orang yang Profesinya bukan Ahli Hadits
Orang yang seperti ini sama sekali tidak ada keahlian
dibidang hadits, tetapi memaksakan diri mengajarkan hadits yang mereka sendiri
tidak tahu betul dan tidaknya memahami hadits yang diriwayatkan.
10. Orang yang Catatannya Rusak
Orang yang termasuk majruh
adalah orang yang catatannya terbakar, dirampok, hilang, tidak mulus lagi,
tenggelam, dicuri, dan lain-lain. Kemudian, memaksakan dirinya meriwayatkan
hadits berdasarkan hafalan yang tersisa. Harus dilihat dahulu apak ia
meriwayatka hadits itu sebelum catatannya atau ingatannya terganggu atau
sesudahnya. Inilah tingkat orang majruh yang
menurut al-Hakim tidak boleh diterima riwayatnya karena dianggap lemah.
Ø Larangan Menulis Hadits Pada Masa Nabi
Di masa Rasulullah SAW masih hidup, hadits belum dibukukan, dalam arti
umum, seperti Al-Qur’an. Hal ini disebabkan dua faktor berikut:
1. Para sahabat berpegang pada kekuatan
hafalan dan kecerdasan akal mereka, di samping tidak lengkapnya alat-alat tulis
yang mereka miliki.
2. Adanya larangan menulis hadits. Muslim
dalam sahihnya, meriwayatkan dari sa’id al-khudri, bahwa nabi Muhammad saw
berkata:
“Janganlah kamu menulis sesuatu (yang kamu terima) dariku selain Qur’an.
Barang siapa yang telah menulis sesuatu selain Qur’an, hendaklah dihapus”.
Bolehjadi, larangan penulisan hadits itu karena dikhawatirkan akan
tercampurnya hadits dengan Qur’an, atau penulisan hadits itu akan melalaikan
mereka dari Qur’an, atau larangan itu ditujukan kepada orang-orang yang
dipercayai kekuatan hafalannya. Tetapi bagi mereka yang tidak lagi
dikhawatirkan bahwa hadits dengan Qur’an akan tercampur aduk, seperti mereka
yang pandai baca tulis, atau karena mereka khawatir akan lupa, maka penulisan
hadits diperbolehkan. Dan dalam pengertian inilah menurut beberapa riwayat
penulisan hadits bagi sementara sahabat diizinkan.
Ø Penulisan Hadits Setelah Nabi Wafat
Tidak berselang lama setelah Rasulullah SAW wafat, para penulis hadits,
baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in, banyak bermunculan. Diriwayatkan
dari Sa’id bin Jubair, bahwa ia senantiasa menyertai Ibn Abbas r.a. untuk
mendengarkan hadits darinya. Hadits-hadits yang didengarnya itu dicatat ketika
ia dalam perjalanan, kemudian disalin sesampai dirumah.
Ø Pembukuan Hadits Secara Umum
Pada abad pertama perkembangan hadits ialah bahwa sebagian perawi
mencatat hadits-hadits, sedang yang lain tidak mencatatnya. Dalam
meriwayatkannya, mereka hanya berpegang pada ingatan dan kekuatan hafalannya.
Keadaan demikian terus berlangsung hingga masa pemerintahaan Khalifah Umar bin
Abdul Aziz r.a. Ia tergerak hatinya dan merasa perlu membukukan hadits dan
sunnah. Hal ini disebabkan ia merasa khawatir akan hilang dan lenyapnya
hadits-hadits bersama para penghafalnya yang kian hari kian banyak yang
meninggal, atau karena ia khawatir tercampur baurnya hadits-hadits asli dengan
yang batil. Di samping itu, mulai bermunculanlah kelompok ateis yang mempunyai tujuan akan menghancurkan agama dengan cara
membuat-buat ajaran palsu dan memasukkan ke dalamnya sesuatu yang sebenarnya
bukan ajaran agama. Sebagaimana dimasa itu telah muncul pula
pertentangan-pertentangan politik, mazhab dan golongan bangsa yang menyebabkan
meluasnya hadits-hadits palsu yang mendukung kepentingan masing-masing.
KESIMPULAN
Para ahli bahasa mendefinisikan yang dimaksud dengan “sebab” (arab:
sababa) adalah “al-habl”: tali, yang menurut lisan al-‘arab dinyatakan bahwa:
kata ini dalam bahasa arab berarti “saluran”, yang berarti: “segala sesuatu
yang menghubungkan satu benda ke benda lainnya”. Para ahli istilah
memaksudkannya sebagai : “segala sesuatu yang mengantarkan pada tujuan”.
Sementara itu,
para ahli hukum islam mendefinisikannya dengan: “suatu jalan menuju
terbentuknya suatu hukum tanpa adanya pengaruh apa pun dalam hukum itu”.
Munculnya (wurud) hadits sebagai: “sesuatu yang
membatasi arti suatu hadits, baik berkenaan dengan arti umum atau khusus,
mutlak atau terbatas, di nasikh (dihapus)
dan seterusnya, atau suatu arti yang dimaksud oleh sebuah hadits saat
kemunculannya.
Manfaat
mempelajari Asbabul Hadits
1. Mentakhsish (mengkhususkan) arti yang
umum
Seperti
contoh hadits dibawah ini:
“Paha
orang yang shalat dengan orang yang duduk, setengah dari shalat orang yang
berdiri”.
2. Membatasi arti yang Mutlak
3. Merinci yang Mujmal (global)
4. Menerangkan ‘illat (alasan) suatu hukum
Salah satu keistimewaan para ahli ilmu di dunia islam, terutama para imam
hadits, ialah banyak melakukan lawatan dan perjalanan. Dalam hal ini, mereka
mengikuti jejak para sahabat dan tabi’in. apabila mereka menerima sebuah hadits
dari sanad perawi yang dapat dipercaya, mereka tidak merasa puas dengan cara
ini, tetapi mereka melakukan perjalanan berhari-hari, bahkan berbulan-bulan
untuk mendapatkan hadits tersebut secara langsung dari orang yang
meriwayatkannya, tanpa melalui perantara.
DAFTAR
PUSTAKA
Abuddin Nata,
Prof. Dr. H. M.A. Metodologi Studi Islam.
2004. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Abdurrahman.M.Dr.
Pergeseran Pemikiran Hadits. 2000.
Jakarta: Paramidana.
Al-Hafizh
Jalaluddin As-Sayuthi. Proses Lahirnya
Sebuah Hadits. 1986. Bandung: Pustaka.
Abu Muhammad
Muhammad Syuhbah. Kitab Hadits Shahih
Yang Enam.1994. Bogor: Pustaka Litera Antarnusa.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !